Sejak gue bangun tidur, mau berangkat kerja, hingga gue pulang kerja, gue selalu mendengar teriakan yang menyedihkan hati. Bukan, itu bukan teriakan gembira, juga bukan teriakan ke gue, tapi teriakan seorang ibu pada anaknya, yang terdengar jelas sampai ke rumah gue. Setiap kali mendengarnya, terasa banget itu teriakan yang memberi kepedihan. Entah gue yang lebai, atau memang teriakan itu sebenarnya menyedihkan juga untuk orang lain yang mendengar, terutama untuk sang anak.
Gue akui bahwa gue bukan seorang ibu yang baik, bukan ibu yang hebat. Gue seorang ibu yang biasa banget. Gue ga bisa masak yang lezat seperti ibu-ibu yang lain, masakan gue cuma pakai feeling aja, malah anak-anak gue suka minta gini,"Ma, masak makanan yang aneh dong". Hahaha, itu karena gue memang masak makanan aneh, gue aja ga tahu gue masak apa, namanya apa. Jadi kalau ditanya,"Masak apa?", jawaban gue,"Ga tahu". Gue ga bisa menemani anak-anak setiap saat, karena gue bekerja. Ya, gue perempuan bekerja. Memberi barang-barang bagus untuk anak, gue juga ga bisa, karena gaji gue ga mencukupi untuk itu. Yang membereskan rumah bukan gue, tapi bareng Ngka, Esa, Pink, tiga kekasih jiwa gue. Jadi, jelas banget gue bukan seorang ibu yang baik, apa lagi yang bisa dibanggakan. Gue ibu biasa, yang berusaha jadi sahabat untuk Ngka, Esa, Pink.
Ngka, Esa, Pink, bukan anak yang hebat dalam prestasi, mereka biasa-biasa saja, tapi untuk gue, mereka adalah sahabat yang hebat, anak-anak yang amat hebat. Mereka mau mengerti kondisi yang ada. Eh, jangan berfikir bahwa mereka selalu bertindak, selalu bersikap 'benar'. Tapi gue berusaha ga memarahi. Gue juga ga menasehati. Mau tahu alasan gue ga memarahi dan ga menasehati? Hehe, gue sejak kecil ga suka dimarahi, dan juga ga suka dinasehati. Jadi, itu gue terapkan dalam membimbing Ngka, Esa, Pink. Gue terbiasa bercerita pada mereka tentang apa pun, dan gue menggarisbawahi baik dan buruknya sikap, dan perilaku dari cerita gue itu.
Waktu mereka masih kecil, gue ajak bernyanyi bersama, menari bersama, dan mendongeng untuk mereka. Setiap tokoh cerita, gue beri kebebasan mereka memberi nama. Cerita tentang apa? Ya banyak, mengarang bebas juga ada, banyakmalah. Gue ambil dari kebiasaan mereka yang ingin gue ubah, kebiasaan mereka yang menurut gue kurang baik, itu yang gue angkat jadi cerita. Dan mereka tertawa sewaktu mendengar cerita gue, lalu sikap dan perilaku yang ga baik tadi, berubah. Mereka akan mengingatkan saudaranya yang sikap dan tindakannya ga baik, seperti dalam cerita yang gue ceritakan pada mereka. Dan gue rasa, gue ga perlu lagi marah, apalagi berteriak pada anak-anak gue, Ngka, Esa, Pink.
Sesudah mereka beranjak besar, gue ga mendongeng lagi, tapi gue bercerita tentang segala sesuatu yang nyata. Bercerita tentang pekerjaan di kantor, tentang teman-teman gue, dan gue biarkan mereka berpendapat tentang cerita gue. Dari situ gue jadi tahu bagaimana penyikapan mereka terhadap sesuatu. Mereka masih remaja, dan seringkali terbawa emosi, dan gue cuma mengarahkan aja, sambil tetap dalam konteks mengobrol, sharing pendapat dalam suasana santai.
Gue membagi tugas rumah. Lalu seiring waktu, mereka membagi tugas sendiri, karena mereka lebih tahu siapa yang lebih bisa menghandle ini atau itu.
Ufh, teriakan tetangga terdengar lagi, dan lebih banyak berisi teriakan penuh kemarahan. Gue, bukan seorang ibu yag keibuan, tapi gue jadi sedih sewaktu mendengar tetangga berteriak-teriak meneriaki anaknya. Plis, gue bukan ibu yang baik, tapi berusaha keras untuk mencintai anak dengan kasih, tanpa kemarahan. Apakah ibu-ibu lain yang baik itu ga bisa untuk ga berteriak pada anak-anaknya? Atau memang adalah hal yang baik memarahi anak dengan berteriak-teriak?
Gue bukan ibu yang baik, cuma gue berusaha menjaga harga diri Ngka, Esa, Pink, dengan ga berteriak pada mereka. Gue berusaha menerapkan kasih. Marah terkadang perlu, tapi bukan berarti marah setiap saat, karena situasi dimarahi malah akan menjadi hal yang biasa untuk anak, dan malah mereka akan terus saja berbuat yang 'untuk dimarahi'. Gue tahu, gue bukan ibu yang sabar, karena itu gue menerapkan ini ke Ngka, Esa, Pink, sejak mereka kecil. Dan memang gue ga perlu memarahi mereka.
Tetangga masih saja berteriak-teriak pada anaknya yang masih kecil, dan terdengar suara anaknya membalas berteriak.
Ah, sungguh, teriakan yang terdengar ini menyedihkan gue... Teriakan tanda jauh dari kasih, kasih itu lembut, kasih itu membahagiakan... Gue bukan ibu yang lembut, tapi gue ingin Ngka, Esa, Pink, berbahagia selalu, karenanya gue ga mau berteriak, apalagi teriak penuh kemarahan...
Ngka, Esa, Pink, mama sayang kalian...
Salam senyum,
error
Gue akui bahwa gue bukan seorang ibu yang baik, bukan ibu yang hebat. Gue seorang ibu yang biasa banget. Gue ga bisa masak yang lezat seperti ibu-ibu yang lain, masakan gue cuma pakai feeling aja, malah anak-anak gue suka minta gini,"Ma, masak makanan yang aneh dong". Hahaha, itu karena gue memang masak makanan aneh, gue aja ga tahu gue masak apa, namanya apa. Jadi kalau ditanya,"Masak apa?", jawaban gue,"Ga tahu". Gue ga bisa menemani anak-anak setiap saat, karena gue bekerja. Ya, gue perempuan bekerja. Memberi barang-barang bagus untuk anak, gue juga ga bisa, karena gaji gue ga mencukupi untuk itu. Yang membereskan rumah bukan gue, tapi bareng Ngka, Esa, Pink, tiga kekasih jiwa gue. Jadi, jelas banget gue bukan seorang ibu yang baik, apa lagi yang bisa dibanggakan. Gue ibu biasa, yang berusaha jadi sahabat untuk Ngka, Esa, Pink.
Ngka, Esa, Pink, bukan anak yang hebat dalam prestasi, mereka biasa-biasa saja, tapi untuk gue, mereka adalah sahabat yang hebat, anak-anak yang amat hebat. Mereka mau mengerti kondisi yang ada. Eh, jangan berfikir bahwa mereka selalu bertindak, selalu bersikap 'benar'. Tapi gue berusaha ga memarahi. Gue juga ga menasehati. Mau tahu alasan gue ga memarahi dan ga menasehati? Hehe, gue sejak kecil ga suka dimarahi, dan juga ga suka dinasehati. Jadi, itu gue terapkan dalam membimbing Ngka, Esa, Pink. Gue terbiasa bercerita pada mereka tentang apa pun, dan gue menggarisbawahi baik dan buruknya sikap, dan perilaku dari cerita gue itu.
Waktu mereka masih kecil, gue ajak bernyanyi bersama, menari bersama, dan mendongeng untuk mereka. Setiap tokoh cerita, gue beri kebebasan mereka memberi nama. Cerita tentang apa? Ya banyak, mengarang bebas juga ada, banyakmalah. Gue ambil dari kebiasaan mereka yang ingin gue ubah, kebiasaan mereka yang menurut gue kurang baik, itu yang gue angkat jadi cerita. Dan mereka tertawa sewaktu mendengar cerita gue, lalu sikap dan perilaku yang ga baik tadi, berubah. Mereka akan mengingatkan saudaranya yang sikap dan tindakannya ga baik, seperti dalam cerita yang gue ceritakan pada mereka. Dan gue rasa, gue ga perlu lagi marah, apalagi berteriak pada anak-anak gue, Ngka, Esa, Pink.
Sesudah mereka beranjak besar, gue ga mendongeng lagi, tapi gue bercerita tentang segala sesuatu yang nyata. Bercerita tentang pekerjaan di kantor, tentang teman-teman gue, dan gue biarkan mereka berpendapat tentang cerita gue. Dari situ gue jadi tahu bagaimana penyikapan mereka terhadap sesuatu. Mereka masih remaja, dan seringkali terbawa emosi, dan gue cuma mengarahkan aja, sambil tetap dalam konteks mengobrol, sharing pendapat dalam suasana santai.
Gue membagi tugas rumah. Lalu seiring waktu, mereka membagi tugas sendiri, karena mereka lebih tahu siapa yang lebih bisa menghandle ini atau itu.
Ufh, teriakan tetangga terdengar lagi, dan lebih banyak berisi teriakan penuh kemarahan. Gue, bukan seorang ibu yag keibuan, tapi gue jadi sedih sewaktu mendengar tetangga berteriak-teriak meneriaki anaknya. Plis, gue bukan ibu yang baik, tapi berusaha keras untuk mencintai anak dengan kasih, tanpa kemarahan. Apakah ibu-ibu lain yang baik itu ga bisa untuk ga berteriak pada anak-anaknya? Atau memang adalah hal yang baik memarahi anak dengan berteriak-teriak?
Gue bukan ibu yang baik, cuma gue berusaha menjaga harga diri Ngka, Esa, Pink, dengan ga berteriak pada mereka. Gue berusaha menerapkan kasih. Marah terkadang perlu, tapi bukan berarti marah setiap saat, karena situasi dimarahi malah akan menjadi hal yang biasa untuk anak, dan malah mereka akan terus saja berbuat yang 'untuk dimarahi'. Gue tahu, gue bukan ibu yang sabar, karena itu gue menerapkan ini ke Ngka, Esa, Pink, sejak mereka kecil. Dan memang gue ga perlu memarahi mereka.
Tetangga masih saja berteriak-teriak pada anaknya yang masih kecil, dan terdengar suara anaknya membalas berteriak.
Ah, sungguh, teriakan yang terdengar ini menyedihkan gue... Teriakan tanda jauh dari kasih, kasih itu lembut, kasih itu membahagiakan... Gue bukan ibu yang lembut, tapi gue ingin Ngka, Esa, Pink, berbahagia selalu, karenanya gue ga mau berteriak, apalagi teriak penuh kemarahan...
Ngka, Esa, Pink, mama sayang kalian...
Salam senyum,
error
Tetap semangat ya mak dalam mendidik putra putri. Aku kagum dengan ketegaranmu mak.
ReplyDeleteMakasiiih, mak Rosalia, semangaaaaat...! ;)
Delete