Skip to main content

error,"Rujak Jleb!"


Waktu itu gue ke pasar berdua Ngka. Ngka minta dibelikan mangga muda untuk rujak. Wah , mantap banget deh, karena itu gue langsung menyetujui. Tapi ternyata kesibukan (jiailaaah, sibuuuk...! Hahaha!) , gue ga bikin tuh rujaknya. Apalagi di hari Sabtu dan Minggu, jadwal Ngka kuliah tuh padat banget, dari pagi sampai malam. Alhasil mangga muda hanya dipandangi aja di dapur.

Horre, Ngka libur, dan tiba-tiba gue ingat tentang rujak. Asyik banget nih makan rujak. Berangkat kerja kemarin, gue melihat segerombol jambu air ada di pohon. Tambah mantap ngerujaknya, mangga muda, dan jambu air! Lalu gue asyik di dapur ngulek bumbu rujak. Bumbu rujak yang komplit, karena menggunakan kacang goreng juga. Terbayang asyiknya makan rujak di siang hari yang panas.

Taraaaa, jadilah bumbu rujaknya. Gedubrak gedubruk, cari sana-sini, mangga mudanya kok ga ada ya? Gue masih berusaha mencari tuh mangga muda yang kecut tapi 'jleb' sekaleee kalau dirujak.

"Pink, mangga mudanya kok ga ada, ya? Di sini deh Mama naruhnya, tapi kok ga ada", gue berkata pada Pink, putri bungsu gue yang cantik. Jawaban Pink di luar dugaan gue,"Eh, Mama di situ nyari mangga mudanya ya? Hehe, waktu itu Ngka sama Pink bikin rujak, jadi udah habis". Jleb! Mangga mudanya memang benar-benar 'jleb' rasanya...!

Okelah, ga pakai mangga muda, ga masalah, masih ada jambu air di pohon. Jadi gue bisa minta tolong Ngka untuk memanjat pohon, ambil jambu air. gue sih bisa aja memanjat, tapi ga enak ah, nanti tetangga pada terkagum-kagum melihat kelincahan gue nangkring di atas pohon.

"Ngkaaa, tolong ambil jambu air di pohon, sayaaang... Mama lihat di atas sana ada segerombol tuh jambunyaaa". Dan jawaban Ngka benar-benar menambah 'jleb' yang gue rasa. "Mamaaaa, jambu airnya udah diambilin sama tetangga kemarin soreeee...! Udah habis di pohon, tinggal kembang-kembangnya ajaaa", jawab Ngka. O My GUSTIIII...!!

Bumbu rujak ada di cobek, termangu menunggu aksi gue. Rujak buah? Ga lagi-lagi deeeh..., mending beli aja deeeeh, daripada jadi rujak buah rasa 'jleb'. Akhirnya gue ambil tahu, menggorengnya, dan ya gitu deh, daripada merasakan 'jleb' tiada henti, gue makan rujak tahu. Mau? Sayangnya sudah habiiisss... Jleb!


Salam senyum,
error







Comments

  1. aku males mbak buat rujak, ada yang enak tinggal beli hehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehehe, memang lebih enak beli, mbak. Cuma karena Ngka minta dibikinin rujak aja tuh, ditambah pohon jambu air di depan rumah berbuah, eh ternyataaaa.... hahhaa :D

      Delete
  2. sepertinya lebih milih praktis beli deh ketimbang bikin :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. bener banget, mbaaak, lebih praktis, dan jelaaas ada, ga bikin jleb, hehehe :D

      Delete
  3. Hahahaha. . .
    Kasian emaknya. Padahal emaknya ngidam, ya? :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. hahaha, iya mbak, mengidam-idamkan jambu n mangga di bumbu rujak. hahaha

      Delete
  4. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

...Filosofi Tembok dari Seorang di Sisi Hidup...

Sisi Hidup pernah berbincang dalam tulisan dengan gw. Berbicara tentang tembok. Gw begitu terpana dengan filosofi temboknya. Begitu baiknya tembok. 'Tembok tetap diam saat orang bersandar padanya. Dia pasrah akan takdirnya. Apapun yang dilakukan orang atau siapapun, tembok hanya diam. Tak bergerak, tak menolak. Cuma diam. Tembok ada untuk bersandar. Gw mau jadi tembok' Itu yang diucapnya Gw ga habis pikir tentang fiosofi tembok yang bener-bener bisa pasrah diam saat orang berbuat apapun padanya. karena gw adalah orang yg bergerak terus. Tapi sungguh, takjub gw akan pemikiran tembok yang bener-bener berbeda ama pemikiran gw yang selalu bergerak. Tembok yang diam saat siapapun berbuat apapun padanya bener-bener menggelitik gw. Gw sempet protes, karena menurut gw, masa cuma untuk bersandar ajah?? Masa ga berbuat apa-apa?? Dan jawabannya mengejutkan gw... 'Gw memang ga pengen apa-apa lagi. Gw cuma mau diam' Gw terpana, takjub... Gw tau siapa yang bicara tentang tembok. Ora...

Prediksi Jitu, Nomor Jitu, Akibatnya juga Jitu

Sebenarnya ini sebuah cerita dari pengalaman seorang teman beberapa tahun yang lalu. Judi, ya mengenai judi. Temanku itu bukan seorang kaya harta, tapi juga bukan seorang yang berkekurangan menurutku, karena tetap saja masih ada orang yang jauh lebih berkekurangan dibanding dia. Empat orang anaknya bersekolah di sekolah swasta yang lumayan bergengsi di kota kami dulu. Tapi temanku itu tetap saja merasa 'miskin'. Selalu mengeluh,"Aku ga punya uang, penghasilan papanya anak-anak cuma berapa. Ga cukup untuk ini dan itu." Hampir setiap hari aku mendengar keluhannya, dan aku cuma tersenyum mendengarnya. Pernah aku menjawab,"Banyak yang jauh berkekurangan dibanding kamu". Dan itu mengundang airmatanya turun. Perumahan tempat kami tinggal memang terkenal 'langganan banjir', jadi pemilik rumah di sana berlomba-lomba menaikkan rumah posisi rumah lebih tinggi dari jalan, dan temanku berkeinginan meninggikan posisi rumahnya yang juga termasuk 'langganan ba...

Han

"Maafkan aku." Aku diam terpaku melihatnya. Tak bisa berkata apapun. Bulir-bulir air mata turun membasahi wajah.  "Maafkan aku, Err." Dia berkata lagi sambil mengulurkan tangannya hendak menjabat tanganku. Dan aku hanya diam tak sanggup bergerak apalagi menjawabnya. Bagaimana mungkin aku bisa bereaksi ketika tiba-tiba seseorang dari masa lalu muncul di depanku untuk meminta maaf.  Amat mengejutkan. Apalagi melihat penampilannya  yang berbeda dengan dia yang kukenal dulu. Berantakan, kotor. Rambutnya juga tak teratur. Lalu kulihat bibirnya bergerak tapi tak terdengar suaranya. Hanya saja aku tahu apa yang diucapkannya. Lagi-lagi permohonan maaf. Setelah bertahun-tahun kami tak bertemu dan tak berkomunikasi sama sekali, detik ini aku melihatnya! Masih hapal dengan sosoknya, juga hapal suaranya. Han! Bukan seorang yang gagah, juga bukan sosok kuat. Tapi dia adalah orang yang kucintai. Han yang penyayang, penuh perhatian, dan sabar. Terkadang kami berbeda pendapat dan r...