"Makan?", tanyaku
Disodorkannya uang pecahan padaku, dan berkata,"Beli sepotong ayam goreng, digoreng kering. Jangan lupa, dada".
Dengan tetap tersenyum kuterima uang yang diberikannya, lalu kukeluarkan motor dari garasi. Berlari kecil anak bungsuku, Zi, menyusulku dan berkata dengan suara yang riang,"Mama, ikut". Aku tersenyum, dan membiarkannya naik ke motor. Zi dibonceng duduk di depan. Aku tak beran i membiarkan Zi duduk di belakang sendirian. Ada kekuatiran Zi terjatuh dari motor.
"Mama mau beli ayam goreng untuk Papa ya?", tanya Zi memecah lamunanku.
"Ya, sayang"
"Untuk Papa?"
"Ya, sayang"
"O. Papa lapar ya Ma?"
"Ya, sayang"
"Harus ayam goreng yang beli?"
"Ga harus, tapi Papa ingin makan ayam goreng"
"Setiap kali?"
"Ya, Pas Papa ingin aja"
"Mama ga ingin?"
"Ga"
"Zi?"
"Zi sudah makan kan tadi?", ujarku pada Zi, yang dijawab dengan anggukan.
Tukang parkir di depan warung tenda ayam goreng langganan tersenyum padaku dan menyapa,"Mbak". Aku balas tersenyum padanya. Bapak tua yang cekatan dan bersemangat. Tiba-tiba pikiranku memlayang padanya di rumah, pada ucapannya saat aku membalas sapaan bapak parkir,"Untuk apa kamu tersenyum dan membalas sapaannya? Memalukan! Ga level!", dan sewaktu aku mengucap terimakasih sembari membayar uang parkir, dia pun berkata ketus,"Ga perlu kowe ngucap terimakasih! Itu udah pekerjaannya menjaga motor!", dan aku cuma diam tak menjawab.
"Dada, mbak?"
Tersentak aku mendengar suara berat bertanya padaku. Pecah sudah lamunanku.
"Lah kok ngelamun to mbak... Ojo sok ngelamun, jangan suka ngelamun to... Ora apik, ndak bagus", ujar pak Slamet penjual ayam goreng sambil tertawa tapi nada suaranya terdengar serius di telingaku.
"Ga kok Pak, ga ngelamun. Eh iya Pak, dada 1 ya, biasa yang garing ya"
"Mesti nggo si nduk iki ya? Senengane kok garing nduk?"
Aku tertawa, Zi terlihat akan menjawab kalimat pak Slamet, tapi untungnya Pak Slamet sudah sibuk menyiapkan pesanan pelanggannya.
"Mama, dikiranya itu untuk Zi. Padahal Zi ga makan ayam ya Ma?", ujar Zi.
Aku tersenyum.
"Nduk, iki wis mateng ayame. Maem ya nduk di rumah", ujar Pak Slamet, disambut tawa Zi dan senyumku.
Setelah membayar, aku dan Zi berjalan ke parkiran motor dan Bapak tua penjaga parkir tersenyum, membantuku mengeluarkan motor, seraya berkata,"Sing ati-ati yo mbak", dan aku menjawab sambil tersenyum.
Hidup dikelilingi oleh orang-orang yang baik dan selalu ramah, tapi mengapa dia selalu mencela mereka? Ah sudahlah, aku harus cepat sampai di rumah, tak ingin membuatnya menunggu.
terburu-buru memasukkan motor ke garasi, Zi dengan sigap membawa bungkusan ayam goreng dan menyiapkannya dalam piring lengkap dengan nasi dan sambel juga lalapan. Zi sayang, usianya masih 5 tahun, tapi dia tau dan mengerti banyak tentang bagaimana harus mengambil sikap.
"Lama. Ga bisa cepet?"
Suara itu.. Mengapa setiap aku mendengar suara itu ada rasa cinta yang biru... Suara yang kucinta, tapi menyakitiku dengan amat sempurna.. Suara yang kurindu sekaligus membuatku ketakutan setiap mendengarnya...
"Antri, Pa"
"Lama banget! Lapar aku"
Aku cuma tersenyum dan diam. Zi menyingkir bersama denganku. De dan Ghit ada di teras sedang bermain dengan suara lirih. Ya, seperti biasa bersuara perlahan sewaktu dia ada di rumah.
"Minum! Mana minumku?"
Aku kaget suaranya ada di dekatku. Aku berlari ke meja makan, mengambil gelas yang ada di di sana dan kulihat masih penuh!
"Hloh, ini? Ini minummu", ujarku
"Ya, tapi ga kowe kasih ke aku tadi. Aku ya ga tau"
Aku tersenyum, dan kuberikan gelas padanya.
"Taro aja di meja"
Aku terdiam, di meja? Bukankah tadi juga ada di meja? Tapi aku tak ingin bersuara. Enggan mendengar kemarahannya.
Piring bekas makannya kucuci. Lalu kulihat dia duduk di depan tv dan menyetel karaoke. Aku juga seperti biasa tidak menggabungkan diri dengannya. Dia tak pernah mau bersamaku. Entah mengapa... Lalu terdengar suaranya melantunkan lagu-lagu dengan manisnya... Entah dia bernyanyi untuk siapa... Yang jelas aku, De, Gi, dan Zi, semakin perlahan berbisik bicara kuatir mengganggunya...
Disodorkannya uang pecahan padaku, dan berkata,"Beli sepotong ayam goreng, digoreng kering. Jangan lupa, dada".
Dengan tetap tersenyum kuterima uang yang diberikannya, lalu kukeluarkan motor dari garasi. Berlari kecil anak bungsuku, Zi, menyusulku dan berkata dengan suara yang riang,"Mama, ikut". Aku tersenyum, dan membiarkannya naik ke motor. Zi dibonceng duduk di depan. Aku tak beran i membiarkan Zi duduk di belakang sendirian. Ada kekuatiran Zi terjatuh dari motor.
"Mama mau beli ayam goreng untuk Papa ya?", tanya Zi memecah lamunanku.
"Ya, sayang"
"Untuk Papa?"
"Ya, sayang"
"O. Papa lapar ya Ma?"
"Ya, sayang"
"Harus ayam goreng yang beli?"
"Ga harus, tapi Papa ingin makan ayam goreng"
"Setiap kali?"
"Ya, Pas Papa ingin aja"
"Mama ga ingin?"
"Ga"
"Zi?"
"Zi sudah makan kan tadi?", ujarku pada Zi, yang dijawab dengan anggukan.
********************
Tukang parkir di depan warung tenda ayam goreng langganan tersenyum padaku dan menyapa,"Mbak". Aku balas tersenyum padanya. Bapak tua yang cekatan dan bersemangat. Tiba-tiba pikiranku memlayang padanya di rumah, pada ucapannya saat aku membalas sapaan bapak parkir,"Untuk apa kamu tersenyum dan membalas sapaannya? Memalukan! Ga level!", dan sewaktu aku mengucap terimakasih sembari membayar uang parkir, dia pun berkata ketus,"Ga perlu kowe ngucap terimakasih! Itu udah pekerjaannya menjaga motor!", dan aku cuma diam tak menjawab.
"Dada, mbak?"
Tersentak aku mendengar suara berat bertanya padaku. Pecah sudah lamunanku.
"Lah kok ngelamun to mbak... Ojo sok ngelamun, jangan suka ngelamun to... Ora apik, ndak bagus", ujar pak Slamet penjual ayam goreng sambil tertawa tapi nada suaranya terdengar serius di telingaku.
"Ga kok Pak, ga ngelamun. Eh iya Pak, dada 1 ya, biasa yang garing ya"
"Mesti nggo si nduk iki ya? Senengane kok garing nduk?"
Aku tertawa, Zi terlihat akan menjawab kalimat pak Slamet, tapi untungnya Pak Slamet sudah sibuk menyiapkan pesanan pelanggannya.
"Mama, dikiranya itu untuk Zi. Padahal Zi ga makan ayam ya Ma?", ujar Zi.
Aku tersenyum.
"Nduk, iki wis mateng ayame. Maem ya nduk di rumah", ujar Pak Slamet, disambut tawa Zi dan senyumku.
Setelah membayar, aku dan Zi berjalan ke parkiran motor dan Bapak tua penjaga parkir tersenyum, membantuku mengeluarkan motor, seraya berkata,"Sing ati-ati yo mbak", dan aku menjawab sambil tersenyum.
Hidup dikelilingi oleh orang-orang yang baik dan selalu ramah, tapi mengapa dia selalu mencela mereka? Ah sudahlah, aku harus cepat sampai di rumah, tak ingin membuatnya menunggu.
terburu-buru memasukkan motor ke garasi, Zi dengan sigap membawa bungkusan ayam goreng dan menyiapkannya dalam piring lengkap dengan nasi dan sambel juga lalapan. Zi sayang, usianya masih 5 tahun, tapi dia tau dan mengerti banyak tentang bagaimana harus mengambil sikap.
"Lama. Ga bisa cepet?"
Suara itu.. Mengapa setiap aku mendengar suara itu ada rasa cinta yang biru... Suara yang kucinta, tapi menyakitiku dengan amat sempurna.. Suara yang kurindu sekaligus membuatku ketakutan setiap mendengarnya...
"Antri, Pa"
"Lama banget! Lapar aku"
Aku cuma tersenyum dan diam. Zi menyingkir bersama denganku. De dan Ghit ada di teras sedang bermain dengan suara lirih. Ya, seperti biasa bersuara perlahan sewaktu dia ada di rumah.
"Minum! Mana minumku?"
Aku kaget suaranya ada di dekatku. Aku berlari ke meja makan, mengambil gelas yang ada di di sana dan kulihat masih penuh!
"Hloh, ini? Ini minummu", ujarku
"Ya, tapi ga kowe kasih ke aku tadi. Aku ya ga tau"
Aku tersenyum, dan kuberikan gelas padanya.
"Taro aja di meja"
Aku terdiam, di meja? Bukankah tadi juga ada di meja? Tapi aku tak ingin bersuara. Enggan mendengar kemarahannya.
Piring bekas makannya kucuci. Lalu kulihat dia duduk di depan tv dan menyetel karaoke. Aku juga seperti biasa tidak menggabungkan diri dengannya. Dia tak pernah mau bersamaku. Entah mengapa... Lalu terdengar suaranya melantunkan lagu-lagu dengan manisnya... Entah dia bernyanyi untuk siapa... Yang jelas aku, De, Gi, dan Zi, semakin perlahan berbisik bicara kuatir mengganggunya...
************
Salam Takzim
ReplyDeleteGregetan ame tuh papah pengen Zi selepet aja
Salam Takzim Batavusqu
hihihi...
Deletesalam senyum