Skip to main content

error bercerita,"Sebuah perjalanan" # episode 2

"Makan?", tanyaku

Disodorkannya uang pecahan padaku, dan berkata,"Beli sepotong ayam goreng, digoreng kering. Jangan lupa, dada".

Dengan tetap tersenyum kuterima uang yang diberikannya, lalu kukeluarkan motor dari garasi. Berlari kecil anak bungsuku, Zi, menyusulku dan berkata dengan suara yang riang,"Mama, ikut". Aku tersenyum, dan membiarkannya naik ke motor. Zi dibonceng duduk di depan. Aku tak beran i membiarkan Zi duduk di belakang sendirian. Ada kekuatiran Zi terjatuh dari motor.

"Mama mau beli ayam goreng untuk Papa ya?", tanya Zi memecah lamunanku.

"Ya, sayang"

"Untuk Papa?"

"Ya, sayang"

"O. Papa lapar ya Ma?"

"Ya, sayang"

"Harus ayam goreng yang beli?"

"Ga harus, tapi Papa ingin makan ayam goreng"

"Setiap kali?"

"Ya, Pas Papa ingin aja"

"Mama ga ingin?"

"Ga"

"Zi?"

"Zi sudah makan kan tadi?", ujarku pada Zi, yang dijawab dengan anggukan.

********************

Tukang parkir di depan warung tenda ayam goreng langganan tersenyum padaku dan menyapa,"Mbak". Aku balas tersenyum padanya. Bapak tua yang cekatan dan bersemangat. Tiba-tiba pikiranku memlayang padanya di rumah, pada ucapannya saat aku membalas sapaan bapak parkir,"Untuk apa kamu tersenyum dan membalas sapaannya? Memalukan! Ga level!", dan sewaktu aku mengucap terimakasih sembari membayar uang parkir, dia pun berkata ketus,"Ga perlu kowe ngucap terimakasih! Itu udah pekerjaannya menjaga motor!", dan aku cuma diam tak menjawab.

"Dada, mbak?"

Tersentak aku mendengar suara berat bertanya padaku. Pecah sudah lamunanku.

"Lah kok ngelamun to mbak... Ojo sok ngelamun, jangan suka ngelamun to... Ora apik, ndak bagus", ujar pak Slamet penjual ayam goreng sambil tertawa tapi nada suaranya terdengar serius di telingaku.

"Ga kok Pak, ga ngelamun. Eh iya Pak, dada 1 ya, biasa yang garing ya"

"Mesti nggo si nduk iki ya? Senengane kok garing nduk?"

Aku tertawa, Zi terlihat akan menjawab kalimat pak Slamet, tapi untungnya Pak Slamet sudah sibuk menyiapkan pesanan pelanggannya.

"Mama, dikiranya itu untuk Zi. Padahal Zi ga makan ayam ya Ma?", ujar Zi.

Aku tersenyum.

"Nduk, iki wis mateng ayame. Maem ya nduk di rumah", ujar Pak Slamet, disambut tawa Zi dan senyumku.

Setelah membayar, aku dan Zi berjalan ke parkiran motor dan Bapak tua penjaga parkir tersenyum, membantuku mengeluarkan motor, seraya berkata,"Sing ati-ati yo mbak", dan aku menjawab sambil tersenyum.

Hidup dikelilingi oleh orang-orang yang baik dan selalu ramah, tapi mengapa dia selalu mencela mereka? Ah sudahlah, aku harus cepat sampai di rumah, tak ingin membuatnya menunggu.

terburu-buru memasukkan motor ke garasi, Zi dengan sigap membawa bungkusan ayam goreng dan menyiapkannya dalam piring lengkap dengan nasi dan sambel juga lalapan. Zi sayang, usianya masih 5 tahun, tapi dia tau dan mengerti banyak tentang bagaimana harus mengambil sikap.

"Lama. Ga bisa cepet?"

Suara itu.. Mengapa setiap aku mendengar suara itu ada rasa cinta yang biru... Suara yang kucinta, tapi menyakitiku dengan amat sempurna.. Suara yang kurindu sekaligus membuatku ketakutan setiap mendengarnya...

"Antri, Pa"

"Lama banget! Lapar aku"

Aku cuma tersenyum dan diam. Zi menyingkir bersama denganku. De dan Ghit ada di teras sedang bermain dengan suara lirih. Ya, seperti biasa bersuara perlahan sewaktu dia ada di rumah.

"Minum! Mana minumku?"

Aku kaget suaranya ada di dekatku. Aku berlari ke meja makan, mengambil gelas yang ada di di sana dan kulihat masih penuh!

"Hloh, ini? Ini minummu", ujarku

"Ya, tapi ga kowe kasih ke aku tadi. Aku ya ga tau"

Aku tersenyum, dan kuberikan gelas padanya.

"Taro aja di meja"

Aku terdiam, di meja? Bukankah tadi juga ada di meja? Tapi aku tak ingin bersuara. Enggan mendengar kemarahannya.

Piring bekas makannya kucuci. Lalu kulihat dia duduk di depan tv dan menyetel karaoke. Aku juga seperti biasa tidak menggabungkan diri dengannya. Dia tak pernah mau bersamaku. Entah mengapa... Lalu terdengar suaranya melantunkan lagu-lagu dengan manisnya... Entah dia bernyanyi untuk siapa... Yang jelas aku, De, Gi, dan Zi, semakin perlahan berbisik bicara kuatir mengganggunya...


************



Comments

  1. Salam Takzim
    Gregetan ame tuh papah pengen Zi selepet aja
    Salam Takzim Batavusqu

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Prediksi Jitu, Nomor Jitu, Akibatnya juga Jitu

Sebenarnya ini sebuah cerita dari pengalaman seorang teman beberapa tahun yang lalu. Judi, ya mengenai judi. Temanku itu bukan seorang kaya harta, tapi juga bukan seorang yang berkekurangan menurutku, karena tetap saja masih ada orang yang jauh lebih berkekurangan dibanding dia. Empat orang anaknya bersekolah di sekolah swasta yang lumayan bergengsi di kota kami dulu. Tapi temanku itu tetap saja merasa 'miskin'. Selalu mengeluh,"Aku ga punya uang, penghasilan papanya anak-anak cuma berapa. Ga cukup untuk ini dan itu." Hampir setiap hari aku mendengar keluhannya, dan aku cuma tersenyum mendengarnya. Pernah aku menjawab,"Banyak yang jauh berkekurangan dibanding kamu". Dan itu mengundang airmatanya turun. Perumahan tempat kami tinggal memang terkenal 'langganan banjir', jadi pemilik rumah di sana berlomba-lomba menaikkan rumah posisi rumah lebih tinggi dari jalan, dan temanku berkeinginan meninggikan posisi rumahnya yang juga termasuk 'langganan ba...

...Filosofi Tembok dari Seorang di Sisi Hidup...

Sisi Hidup pernah berbincang dalam tulisan dengan gw. Berbicara tentang tembok. Gw begitu terpana dengan filosofi temboknya. Begitu baiknya tembok. 'Tembok tetap diam saat orang bersandar padanya. Dia pasrah akan takdirnya. Apapun yang dilakukan orang atau siapapun, tembok hanya diam. Tak bergerak, tak menolak. Cuma diam. Tembok ada untuk bersandar. Gw mau jadi tembok' Itu yang diucapnya Gw ga habis pikir tentang fiosofi tembok yang bener-bener bisa pasrah diam saat orang berbuat apapun padanya. karena gw adalah orang yg bergerak terus. Tapi sungguh, takjub gw akan pemikiran tembok yang bener-bener berbeda ama pemikiran gw yang selalu bergerak. Tembok yang diam saat siapapun berbuat apapun padanya bener-bener menggelitik gw. Gw sempet protes, karena menurut gw, masa cuma untuk bersandar ajah?? Masa ga berbuat apa-apa?? Dan jawabannya mengejutkan gw... 'Gw memang ga pengen apa-apa lagi. Gw cuma mau diam' Gw terpana, takjub... Gw tau siapa yang bicara tentang tembok. Ora...

error bercerita tentang "SIM dan Aku"

Oktober 2007 pertama kali aku mengurus pembuatan SIM. Sebelumnya pergi kemanapun tanpa SIM. Almarhum suami tanpa alasan apapun tidak memberi ijin membuat SIM untukku, tapi dia selalu menyuruhku pergi ke sana dan ke sini lewat jalur jalan raya yang jelas-jellas harus memiliki SIM. Sesudah suami meninggal, aku langsung mengurus pembuatan SIM lewat calo. Cukup dengan foto copy kTP dan uang yang disepakati. Tidak ada test ini dan itu. Hanya foto saja yang tidak bisa diwakikan. Ya iyalah, masa foto SIM-ku itu foto wajah bapak berkumis! Hanya sebentar prosesnya, dan tralalalala, SIM sudah di tangan. Kemanapun pergi aku selalu membawa SIM di dompet, tapi tidak pernah tahu sampai  kapan masa berlakunya. Bulan April 2013 kemarin aku baru tahu ternyata masa berlakunya sudah habis. SIM-ku kadaluwarsa! Haduh, kalau SIM ini makanan, pasti sudah berbau, dan aku keracunan! Untung sekali SIM bukan makanan.   Lalu aku putus kan  membuat SIM baru, b ukan perpanjangan,  karena S...