Skip to main content

error bercerita,"Sebuah perjalanan"# episode 6

Hmm, sudah jam 4.00 pagi. Ternyata waktu berjalan cepat. Aku bergegas keluar kamar. Memasak nasi, memasak untuk sarapan, juga memasak air untuk membuat teh hangat. Hans hanya mau minum teh hangat. Selain teh hangat, dia tak pernah mau meminumnya di rumah. Beberes rumah, lalu memeriksa apakah De, Gi, dan Zi sudah komplit memasukkan buku dan perlengkapan sekolah dalam tas mereka masing-masing.
 

Jam di dinding menunjukkan pukul 5.00 pagi. De, Gi, dan Zi bangun tanpa harus kubangunkan. Mereka sudah terbiasa bangun pagi-pagi. Tanpa harus kusuruh pun mereka mandi bergantian, lalu memakai seragam sekolah yang memang sudah kusiapkan. Mereka bergegas tanpa suara bising. Tenang, ya dengan tenang tanpa suara mereka menyelesaikan itu. Sarapan pun tanpa suara. Tapi sungguh terlihat senyum manis mereka di bibir yang tak pernah hilang barang sedetik. Sebuah anugerah yang penuh keindahan melihat senyum yang amat manis di pagi hari saat orang-orang sibuk mempersiapkan hari yang baru. Tidak di sini. Semua tenang. Tenang, ya tenang. Karena Hans ada di rumah. De, Gi, dan Zi, tau jangan ada suara berisik. Papa mereka masih tidur pulas.

Pukul 5.30 pagi, aku membangunkan Hans. Semalam dia berpesan minta untuk dibangunkan jam 5.30 pagi. Tapi Hans tetap lelap. Aku perlahan mengelus punggungnya agar dia terbangun. Tapi ternyata tidak. Rambut ikalnya kuelus dengan hati-hati. Ah, akhirnya Hans terbangun. Pelan-pelan kuberkata padanya bahwa sudah lebih dari pukul 5.30 pagi. Aku tidak berharap Hans tersenyum dan berterimakasih telah kubangunkan. Tidak. Apalagi berharap dia mengecupku seperti di film-film yang ada di layar lebar. Aku hanya berharap tidak ada ungkapan kasar darinya di pagi ini terhadapku. Itu adalah harapanku setiap hari. Tapi kenyataannya harapanku selalu jadi harapan kosong...

"Pukul berapa sekarang?", tanya Hans lalu menutup matanya lagi.

"Lebih dari pukul 5.30, Pa"

Hans seperti disengat listrik tegangan tinggi, kaget dan lompat dari tidurnya. Mukanya tegang, terlihat kemarahan di sana. Aku diam, aku tidak takut, aku hanya kuatir suara kerasnya menyakiti jiwa De, Gi, dan Zi.

"Bodoh! Aku pesan pukul 5.30! Aku terlambat! Bodoh! Kapan kowe bisa patuh?", teriaknya padaku

Aku diam memandangnya tanpa berkedip. Tapi senyum ini tak pernah lepas dari bibirku. Senyum ini adalah obat untuk hatiku sendniri. Hans boleh memaki, Hans boleh menyentakku dengan kalimat kasar. Tapi dia tak bisa menghapus senyumku! Hans boleh tak tersenyum padaku! Aku akan tetap tersenyum, ini senyum milikku, dan kuberikan padanya. Jika dia tak berkenan, biar saja. Aku nyaman dengan senyum ini, senyumku sendiri.

Hans bergegas ke kamar mandi. Handnuk seperti biasa sudah kusiapkan di sana. Baju untuk digunakannya kerja pun sudah siap di dalam lemari. Aku tak lagi menyiapkan baju digantung di kamar, karena dia sudah tak mau lagi aku menyiapkan seperti itu. Gara-gara secarik surat yang kutulis untuknya. Ya, secarik surat yang akhirnya kutemukan di bak sampah. Surat singkat, hanya bertuliskan , "Aku mencintaimu sebagai imamku, aku mencintaimu sebagai suamiku, aku mencintaimu sebagai ayah dari anak-anakku".

De, Gi, dan Zi, sudah siap semua. Seragam sudah rapi dikenakan, sepatu pun sudah. Mereka duduk dengan tenang di kursi teras rumah. Aku bergabung dengan mereka. Terdengar suara mereka bernyanyi lirih, "If you're happy and you know it claps your hands", lalu menepukkan tangan pelan. Mereka tersenyum. Indahnya anugerahMU GUSTI...

Hans selesai mandi. Terdengar dari pintu kamar mandi yang dibuka. Dia berteriak bertanya mana teh hangat untuknya. Aku berjalan ke ruang makan, dan memberikan itu padanya. Aku kadang heran, bertahun-tahun, apakah Hans tidak juga hafal dimana letak meja makan di rumah ini? Aku tersenyum.

Lalu Hans masuk kamar, aku menunggu di depan tv. Aku tidak bergabung dengan De, Gi dan Zi, karena kuatir Hans memanggilku lagi.

Waktu sudah menunjukkan pukul 6.30 pagi. Hans berkata bahwa dia terlambat karena kebodohanku yang tak pernah bisa tau waktu. Aku cuma diam dan tersenyum saja. Biar saja, biar saja, kataku dalam hati. Biar saja Hans mengungkapkan kemarahannya, biar saja... Aku tak mau ikut larut dalam kemarahannya, juga tak mau larut dalam pedih yang sebenarnya mengguncangku selama ini.
 

Hans pun berangkat tanpa berpamitan. Kata-kata pamitanya selalu sama,"Buka pagar". Jadi teringat cerita Ali Baba yang membuka pintu gua dengan kata-kata magic-nya. Haha...
 

De, Gi, Zi pun bersiap naik ke motor.
 

"Ayo Maaa, berangkaaat...", ujar De, Gi, dan Zi hampir bersamaan.

"Ayo cintanya Mama... Kita kemooon", kataku

Dan hari pun mulai pecah dengan suara riang senandung De, Gi, dan Zi. Terimakasih GUSTI, anugerah hari ini begitu indahnya...


                                                             ******************





Comments

  1. malaikat2 kecil yang bisa membuat mamanya tersenyum ya mbak

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya mbak, De, Gi, dan Zi, benar-benar sosok malaikat kecil yang membuat sang Mama menjadi kuat jalani semua itu :)

      Delete
  2. Salam Takzim
    Uratnya kaga putus apa sih papah tiap saat teriak melulu
    Ngasah golok
    Salam Takzim Batavusqu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha... urat karet kali ya kang, jadi bisa ketarik muluuuur... :D
      Hihihi... mau jadi si pitung akang teh? :D

      Salam senyum ah untuk akang ;)

      Delete
  3. :'( H̶îĸ§ ⌣H̶îĸ§ :'(

    Sedddiihhhhhhh....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ayyoo shi, senyuuum ayooo...
      hapus airmatanya ayyoo...
      yuk senyum yuuuk ...
      ;)

      Delete
  4. Gmn мªů senyum..

    Membayangkan itu §мώ..
    Ģªќ bisa.. Ģªќ bisa..

    Ġω sllu meneteskan airmata ќªℓö ªðª hati anak2 ỳªⁿg terluka.. Ġω sampe saat πï℮ ß℮ℓůм bsa pnya anak.. Tpi knp mrk ỳªⁿg sdh pnya begitu tega'a melukai perasaan ank2..

    ReplyDelete
  5. Gmn мªů senyum..

    Membayangkan itu §мώ..
    Ģªќ bisa.. Ģªќ bisa..

    Ġω sllu meneteskan airmata ќªℓö ªðª hati anak2 ỳªⁿg terluka.. Ġω sampe saat πï℮ ß℮ℓůм bsa pnya anak.. Tpi knp mrk ỳªⁿg sdh pnya begitu tega'a melukai perasaan ank2..

    ReplyDelete
    Replies
    1. ssst... ga usah gitu... biar aja mereka yg ga mencinta bersikap seperti yg mereka mau... yang penting kita tau kita ga boleh bersikap kayak mereka...
      Gue kagum ama lo, shi. Lo hebat! Lo ibu yg sesungguhnya.
      Senyum shi, senyum...
      ;)

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Prediksi Jitu, Nomor Jitu, Akibatnya juga Jitu

Sebenarnya ini sebuah cerita dari pengalaman seorang teman beberapa tahun yang lalu. Judi, ya mengenai judi. Temanku itu bukan seorang kaya harta, tapi juga bukan seorang yang berkekurangan menurutku, karena tetap saja masih ada orang yang jauh lebih berkekurangan dibanding dia. Empat orang anaknya bersekolah di sekolah swasta yang lumayan bergengsi di kota kami dulu. Tapi temanku itu tetap saja merasa 'miskin'. Selalu mengeluh,"Aku ga punya uang, penghasilan papanya anak-anak cuma berapa. Ga cukup untuk ini dan itu." Hampir setiap hari aku mendengar keluhannya, dan aku cuma tersenyum mendengarnya. Pernah aku menjawab,"Banyak yang jauh berkekurangan dibanding kamu". Dan itu mengundang airmatanya turun. Perumahan tempat kami tinggal memang terkenal 'langganan banjir', jadi pemilik rumah di sana berlomba-lomba menaikkan rumah posisi rumah lebih tinggi dari jalan, dan temanku berkeinginan meninggikan posisi rumahnya yang juga termasuk 'langganan ba...

...Filosofi Tembok dari Seorang di Sisi Hidup...

Sisi Hidup pernah berbincang dalam tulisan dengan gw. Berbicara tentang tembok. Gw begitu terpana dengan filosofi temboknya. Begitu baiknya tembok. 'Tembok tetap diam saat orang bersandar padanya. Dia pasrah akan takdirnya. Apapun yang dilakukan orang atau siapapun, tembok hanya diam. Tak bergerak, tak menolak. Cuma diam. Tembok ada untuk bersandar. Gw mau jadi tembok' Itu yang diucapnya Gw ga habis pikir tentang fiosofi tembok yang bener-bener bisa pasrah diam saat orang berbuat apapun padanya. karena gw adalah orang yg bergerak terus. Tapi sungguh, takjub gw akan pemikiran tembok yang bener-bener berbeda ama pemikiran gw yang selalu bergerak. Tembok yang diam saat siapapun berbuat apapun padanya bener-bener menggelitik gw. Gw sempet protes, karena menurut gw, masa cuma untuk bersandar ajah?? Masa ga berbuat apa-apa?? Dan jawabannya mengejutkan gw... 'Gw memang ga pengen apa-apa lagi. Gw cuma mau diam' Gw terpana, takjub... Gw tau siapa yang bicara tentang tembok. Ora...

error bercerita tentang "SIM dan Aku"

Oktober 2007 pertama kali aku mengurus pembuatan SIM. Sebelumnya pergi kemanapun tanpa SIM. Almarhum suami tanpa alasan apapun tidak memberi ijin membuat SIM untukku, tapi dia selalu menyuruhku pergi ke sana dan ke sini lewat jalur jalan raya yang jelas-jellas harus memiliki SIM. Sesudah suami meninggal, aku langsung mengurus pembuatan SIM lewat calo. Cukup dengan foto copy kTP dan uang yang disepakati. Tidak ada test ini dan itu. Hanya foto saja yang tidak bisa diwakikan. Ya iyalah, masa foto SIM-ku itu foto wajah bapak berkumis! Hanya sebentar prosesnya, dan tralalalala, SIM sudah di tangan. Kemanapun pergi aku selalu membawa SIM di dompet, tapi tidak pernah tahu sampai  kapan masa berlakunya. Bulan April 2013 kemarin aku baru tahu ternyata masa berlakunya sudah habis. SIM-ku kadaluwarsa! Haduh, kalau SIM ini makanan, pasti sudah berbau, dan aku keracunan! Untung sekali SIM bukan makanan.   Lalu aku putus kan  membuat SIM baru, b ukan perpanjangan,  karena S...