Hmm, sudah jam 4.00 pagi. Ternyata waktu berjalan cepat. Aku bergegas keluar kamar. Memasak nasi, memasak untuk sarapan, juga memasak air untuk membuat teh hangat. Hans hanya mau minum teh hangat. Selain teh hangat, dia tak pernah mau meminumnya di rumah. Beberes rumah, lalu memeriksa apakah De, Gi, dan Zi sudah komplit memasukkan buku dan perlengkapan sekolah dalam tas mereka masing-masing.
Jam di dinding menunjukkan pukul 5.00 pagi. De, Gi, dan Zi bangun tanpa harus kubangunkan. Mereka sudah terbiasa bangun pagi-pagi. Tanpa harus kusuruh pun mereka mandi bergantian, lalu memakai seragam sekolah yang memang sudah kusiapkan. Mereka bergegas tanpa suara bising. Tenang, ya dengan tenang tanpa suara mereka menyelesaikan itu. Sarapan pun tanpa suara. Tapi sungguh terlihat senyum manis mereka di bibir yang tak pernah hilang barang sedetik. Sebuah anugerah yang penuh keindahan melihat senyum yang amat manis di pagi hari saat orang-orang sibuk mempersiapkan hari yang baru. Tidak di sini. Semua tenang. Tenang, ya tenang. Karena Hans ada di rumah. De, Gi, dan Zi, tau jangan ada suara berisik. Papa mereka masih tidur pulas.
Pukul 5.30 pagi, aku membangunkan Hans. Semalam dia berpesan minta untuk dibangunkan jam 5.30 pagi. Tapi Hans tetap lelap. Aku perlahan mengelus punggungnya agar dia terbangun. Tapi ternyata tidak. Rambut ikalnya kuelus dengan hati-hati. Ah, akhirnya Hans terbangun. Pelan-pelan kuberkata padanya bahwa sudah lebih dari pukul 5.30 pagi. Aku tidak berharap Hans tersenyum dan berterimakasih telah kubangunkan. Tidak. Apalagi berharap dia mengecupku seperti di film-film yang ada di layar lebar. Aku hanya berharap tidak ada ungkapan kasar darinya di pagi ini terhadapku. Itu adalah harapanku setiap hari. Tapi kenyataannya harapanku selalu jadi harapan kosong...
"Pukul berapa sekarang?", tanya Hans lalu menutup matanya lagi.
"Lebih dari pukul 5.30, Pa"
Hans seperti disengat listrik tegangan tinggi, kaget dan lompat dari tidurnya. Mukanya tegang, terlihat kemarahan di sana. Aku diam, aku tidak takut, aku hanya kuatir suara kerasnya menyakiti jiwa De, Gi, dan Zi.
"Bodoh! Aku pesan pukul 5.30! Aku terlambat! Bodoh! Kapan kowe bisa patuh?", teriaknya padaku
Aku diam memandangnya tanpa berkedip. Tapi senyum ini tak pernah lepas dari bibirku. Senyum ini adalah obat untuk hatiku sendniri. Hans boleh memaki, Hans boleh menyentakku dengan kalimat kasar. Tapi dia tak bisa menghapus senyumku! Hans boleh tak tersenyum padaku! Aku akan tetap tersenyum, ini senyum milikku, dan kuberikan padanya. Jika dia tak berkenan, biar saja. Aku nyaman dengan senyum ini, senyumku sendiri.
Hans bergegas ke kamar mandi. Handnuk seperti biasa sudah kusiapkan di sana. Baju untuk digunakannya kerja pun sudah siap di dalam lemari. Aku tak lagi menyiapkan baju digantung di kamar, karena dia sudah tak mau lagi aku menyiapkan seperti itu. Gara-gara secarik surat yang kutulis untuknya. Ya, secarik surat yang akhirnya kutemukan di bak sampah. Surat singkat, hanya bertuliskan , "Aku mencintaimu sebagai imamku, aku mencintaimu sebagai suamiku, aku mencintaimu sebagai ayah dari anak-anakku".
De, Gi, dan Zi, sudah siap semua. Seragam sudah rapi dikenakan, sepatu pun sudah. Mereka duduk dengan tenang di kursi teras rumah. Aku bergabung dengan mereka. Terdengar suara mereka bernyanyi lirih, "If you're happy and you know it claps your hands", lalu menepukkan tangan pelan. Mereka tersenyum. Indahnya anugerahMU GUSTI...
Hans selesai mandi. Terdengar dari pintu kamar mandi yang dibuka. Dia berteriak bertanya mana teh hangat untuknya. Aku berjalan ke ruang makan, dan memberikan itu padanya. Aku kadang heran, bertahun-tahun, apakah Hans tidak juga hafal dimana letak meja makan di rumah ini? Aku tersenyum.
Lalu Hans masuk kamar, aku menunggu di depan tv. Aku tidak bergabung dengan De, Gi dan Zi, karena kuatir Hans memanggilku lagi.
Waktu sudah menunjukkan pukul 6.30 pagi. Hans berkata bahwa dia terlambat karena kebodohanku yang tak pernah bisa tau waktu. Aku cuma diam dan tersenyum saja. Biar saja, biar saja, kataku dalam hati. Biar saja Hans mengungkapkan kemarahannya, biar saja... Aku tak mau ikut larut dalam kemarahannya, juga tak mau larut dalam pedih yang sebenarnya mengguncangku selama ini.
Hans pun berangkat tanpa berpamitan. Kata-kata pamitanya selalu sama,"Buka pagar". Jadi teringat cerita Ali Baba yang membuka pintu gua dengan kata-kata magic-nya. Haha...
De, Gi, Zi pun bersiap naik ke motor.
"Ayo Maaa, berangkaaat...", ujar De, Gi, dan Zi hampir bersamaan.
"Ayo cintanya Mama... Kita kemooon", kataku
Dan hari pun mulai pecah dengan suara riang senandung De, Gi, dan Zi. Terimakasih GUSTI, anugerah hari ini begitu indahnya...
******************
Jam di dinding menunjukkan pukul 5.00 pagi. De, Gi, dan Zi bangun tanpa harus kubangunkan. Mereka sudah terbiasa bangun pagi-pagi. Tanpa harus kusuruh pun mereka mandi bergantian, lalu memakai seragam sekolah yang memang sudah kusiapkan. Mereka bergegas tanpa suara bising. Tenang, ya dengan tenang tanpa suara mereka menyelesaikan itu. Sarapan pun tanpa suara. Tapi sungguh terlihat senyum manis mereka di bibir yang tak pernah hilang barang sedetik. Sebuah anugerah yang penuh keindahan melihat senyum yang amat manis di pagi hari saat orang-orang sibuk mempersiapkan hari yang baru. Tidak di sini. Semua tenang. Tenang, ya tenang. Karena Hans ada di rumah. De, Gi, dan Zi, tau jangan ada suara berisik. Papa mereka masih tidur pulas.
Pukul 5.30 pagi, aku membangunkan Hans. Semalam dia berpesan minta untuk dibangunkan jam 5.30 pagi. Tapi Hans tetap lelap. Aku perlahan mengelus punggungnya agar dia terbangun. Tapi ternyata tidak. Rambut ikalnya kuelus dengan hati-hati. Ah, akhirnya Hans terbangun. Pelan-pelan kuberkata padanya bahwa sudah lebih dari pukul 5.30 pagi. Aku tidak berharap Hans tersenyum dan berterimakasih telah kubangunkan. Tidak. Apalagi berharap dia mengecupku seperti di film-film yang ada di layar lebar. Aku hanya berharap tidak ada ungkapan kasar darinya di pagi ini terhadapku. Itu adalah harapanku setiap hari. Tapi kenyataannya harapanku selalu jadi harapan kosong...
"Pukul berapa sekarang?", tanya Hans lalu menutup matanya lagi.
"Lebih dari pukul 5.30, Pa"
Hans seperti disengat listrik tegangan tinggi, kaget dan lompat dari tidurnya. Mukanya tegang, terlihat kemarahan di sana. Aku diam, aku tidak takut, aku hanya kuatir suara kerasnya menyakiti jiwa De, Gi, dan Zi.
"Bodoh! Aku pesan pukul 5.30! Aku terlambat! Bodoh! Kapan kowe bisa patuh?", teriaknya padaku
Aku diam memandangnya tanpa berkedip. Tapi senyum ini tak pernah lepas dari bibirku. Senyum ini adalah obat untuk hatiku sendniri. Hans boleh memaki, Hans boleh menyentakku dengan kalimat kasar. Tapi dia tak bisa menghapus senyumku! Hans boleh tak tersenyum padaku! Aku akan tetap tersenyum, ini senyum milikku, dan kuberikan padanya. Jika dia tak berkenan, biar saja. Aku nyaman dengan senyum ini, senyumku sendiri.
Hans bergegas ke kamar mandi. Handnuk seperti biasa sudah kusiapkan di sana. Baju untuk digunakannya kerja pun sudah siap di dalam lemari. Aku tak lagi menyiapkan baju digantung di kamar, karena dia sudah tak mau lagi aku menyiapkan seperti itu. Gara-gara secarik surat yang kutulis untuknya. Ya, secarik surat yang akhirnya kutemukan di bak sampah. Surat singkat, hanya bertuliskan , "Aku mencintaimu sebagai imamku, aku mencintaimu sebagai suamiku, aku mencintaimu sebagai ayah dari anak-anakku".
De, Gi, dan Zi, sudah siap semua. Seragam sudah rapi dikenakan, sepatu pun sudah. Mereka duduk dengan tenang di kursi teras rumah. Aku bergabung dengan mereka. Terdengar suara mereka bernyanyi lirih, "If you're happy and you know it claps your hands", lalu menepukkan tangan pelan. Mereka tersenyum. Indahnya anugerahMU GUSTI...
Hans selesai mandi. Terdengar dari pintu kamar mandi yang dibuka. Dia berteriak bertanya mana teh hangat untuknya. Aku berjalan ke ruang makan, dan memberikan itu padanya. Aku kadang heran, bertahun-tahun, apakah Hans tidak juga hafal dimana letak meja makan di rumah ini? Aku tersenyum.
Lalu Hans masuk kamar, aku menunggu di depan tv. Aku tidak bergabung dengan De, Gi dan Zi, karena kuatir Hans memanggilku lagi.
Waktu sudah menunjukkan pukul 6.30 pagi. Hans berkata bahwa dia terlambat karena kebodohanku yang tak pernah bisa tau waktu. Aku cuma diam dan tersenyum saja. Biar saja, biar saja, kataku dalam hati. Biar saja Hans mengungkapkan kemarahannya, biar saja... Aku tak mau ikut larut dalam kemarahannya, juga tak mau larut dalam pedih yang sebenarnya mengguncangku selama ini.
Hans pun berangkat tanpa berpamitan. Kata-kata pamitanya selalu sama,"Buka pagar". Jadi teringat cerita Ali Baba yang membuka pintu gua dengan kata-kata magic-nya. Haha...
De, Gi, Zi pun bersiap naik ke motor.
"Ayo Maaa, berangkaaat...", ujar De, Gi, dan Zi hampir bersamaan.
"Ayo cintanya Mama... Kita kemooon", kataku
Dan hari pun mulai pecah dengan suara riang senandung De, Gi, dan Zi. Terimakasih GUSTI, anugerah hari ini begitu indahnya...
******************
malaikat2 kecil yang bisa membuat mamanya tersenyum ya mbak
ReplyDeleteYa mbak, De, Gi, dan Zi, benar-benar sosok malaikat kecil yang membuat sang Mama menjadi kuat jalani semua itu :)
DeleteSalam Takzim
ReplyDeleteUratnya kaga putus apa sih papah tiap saat teriak melulu
Ngasah golok
Salam Takzim Batavusqu
Hahaha... urat karet kali ya kang, jadi bisa ketarik muluuuur... :D
DeleteHihihi... mau jadi si pitung akang teh? :D
Salam senyum ah untuk akang ;)
:'( H̶îĸ§ ⌣H̶îĸ§ :'(
ReplyDeleteSedddiihhhhhhh....
Ayyoo shi, senyuuum ayooo...
Deletehapus airmatanya ayyoo...
yuk senyum yuuuk ...
;)
Gmn мªů senyum..
ReplyDeleteMembayangkan itu §мώ..
Ģªќ bisa.. Ģªќ bisa..
Ġω sllu meneteskan airmata ќªℓö ªðª hati anak2 ỳªⁿg terluka.. Ġω sampe saat πï℮ ß℮ℓůм bsa pnya anak.. Tpi knp mrk ỳªⁿg sdh pnya begitu tega'a melukai perasaan ank2..
Gmn мªů senyum..
ReplyDeleteMembayangkan itu §мώ..
Ģªќ bisa.. Ģªќ bisa..
Ġω sllu meneteskan airmata ќªℓö ªðª hati anak2 ỳªⁿg terluka.. Ġω sampe saat πï℮ ß℮ℓůм bsa pnya anak.. Tpi knp mrk ỳªⁿg sdh pnya begitu tega'a melukai perasaan ank2..
ssst... ga usah gitu... biar aja mereka yg ga mencinta bersikap seperti yg mereka mau... yang penting kita tau kita ga boleh bersikap kayak mereka...
DeleteGue kagum ama lo, shi. Lo hebat! Lo ibu yg sesungguhnya.
Senyum shi, senyum...
;)