Skip to main content

error bercerita,"Sebuah perjalanan" # episode 3

"Mama, Papa pulang ke rumah ga hari ini?", suara mungil De memecah konsentrasiku yang sedang mereparasi sendiri mesin cuci yang rusak.

"Ga, cinta. Papa ga pulang hari ini", jawabku sambil menoleh dan tersenyum pada De, putra sulungku.

De berlari ke depan sambil berteriak, dan disusul teriakan Gi dan Zi,"HORE PAPA GA PULANG!! HORE PAPA GA PULANG!!".

Aku tersentak dan merasakan pilu di hati. Duh Pa, seandainya saja kamu tau apa yang terjadi saat ini... Perlahan kuusap airmata yang hendak jatuh membasahi pipi.

"Mama! Mama!", teriakan Gi dan Zi bersahut-sahutan memanggilku. Berlarian mereka ke arahku.

Kuhentikan kesibukanku, kuletakkan obeng yang sedang kupegang, dan menunggu mereka tiba di hadapanku. Ah nyawa kecilku yang manis... Nyawa kecilku tercinta, betapa rasa cinta yang ada di hati ini seluruhnya hanya untuk mereka. Hidupku untuk mereka, ya untuk mereka.

"Mama!"

"Ya, sayangnya mama, ada apa?"

"Kata De, Papa ga pulang hari ini. Apa iya betul, Ma? Papa ga pulang?", tanya Gi padaku dengan nafas yang masih terengah-engah.

"Mama, betul apa bohooong??", tanya Zi dengan suara kecilnya.

Aku tertawa melihat mereka tersengal-sengal dan terlihat amat serius bertanya. Ah cinta, betapa polosnya kalian.

"Ya, sayang. Papa ga pulang hari ini. Tadi Papa sms Mama, ga pulang katanya", jawabku.

"DEEE...!! DEEE...!!", teriak Gi dan Zi sambil berlari meninggalkanku menuju De yang ada di teras rumah.

Aku terdiam melihat kenyataan itu. Anak-anakku begitu amat riangnya saat tau Papanya tidak pulang ke rumah hari ini. Ya, suamiku, papa dari anak-anakku bekerja di luar kota, dan dia tidak pulang setiap hari ke rumah. Kepulangannya tidak pasti. Sebenarnya kantor suamiku tidak jauh. Jarak Bogor - Jakarta adalah jarak biasa tempuh orang bekerja. Tapi dia memutuskan untuk tidak pulang setiap hari. Aku hanya mengangguk mengiyakan saat dia menyampaikan keinginannya itu. Aku tidak ingin ada keributan di rumah hanya karena aku bicara. Aku hanya diam, tak bicara apapun. Lebih baik tersenyum saja. Tanpa bicara menjawab pun makiannya sering terdengar di rumah. Entah apa penyebabnya, tapi yang jelas setiap aku bicara, pasti hanya makian yang kuterima. Anak-anak pun tau tentang itu. Di depan De, Gi, dan Zi, dia dengan kerasnya memakiku. Aku hanya diam dan tersenyum. Biasanya tiga nyawa kecilku hanya diam dan berpura-pura sibuk membaca.

Aku tidak ingin menjawab, tidak ingin menambah rusuh suasana. Biar saja dia memaki. Biar saja dia memasang muka masam. Itu adalah haknya menggunakan hidup seperti itu. Sedangkan aku menggunakan hak hidupku dengan senyum dan mengasihi, mencintai De, Gi, Zi, dan juga dia suamiku. Seperti apapun perlakuannya, seperti apapun sikapnya padaku, dia adalah suamiku. Orang yang kucintai dan kusayangi. Orang yang kuhormati sepenuh hati. Tanpa dia, tak ada De, Gi, dan Zi.

Pernah aku menangis karena perlakuannya, karena sikapnya padaku. Tapi lalu aku menyadari bahwa cinta adalah cinta. Bukan meminta balasan. Tugasku adalah mencintai dengan cinta yang dianugerahkan GUSTI padaku dengan sebaik mungkin. Dia mencintaiku atau tidak, itu adalah urusannya sendiri. Aku mencintainya dengan pasrah. Mencintainya dengan cinta.

"Mamaaaa...!"

"Ya, sayang", kataku pada Gi yang berlari ke arahku.

"Ma, Gi haus", ujar Gi padaku.

Aku tertawa. Ah cinta, hendak minum pun melapor padaku...

"Gi mau minum ya Ma", kata Gi lalu mengecup pipiku.

"Ya, sayangnya Mama. Minum sana. Gi lari-lari terus, jadi haus terus ya?", kataku

"Ya, Mama", jawabnya sambil tertawa.

Tawa yang bening... Tawa ini suara surga bagiku, suara surga untukku.

"Mamaaa...!!", kali ini suara Zi

"Ya, cintanya Mama", aku meletakkan isolasi di lantai. Sejak tadi aku tidak selesai-selesaimereparasi mesin cuci tua ini karena De, Gi, dan Zi yang terus saja menyela pekerjaanku. Ah bukan, tapi karena lamunanku akanmu, Pa...

"Zi juga haus"

"Ya, cinta. Minum sana", sahutku dan memeluknya.

"Mamaaaa!", De berlari memanggilku

"Yaaaaa sayangnya Mamaaaaa", sahutku menirukan gaya suara De

Kulihat Gi dan Zi tertawa. De yang terengah-engah datang pun tertawa, malah hingga terbahak-bahak.

"De haus"

"Minum, cintanya Mama"

De pun berlari menuju dispenser di ruang makan. Lalu terdengar suara De setengah berteriak, mungkin maksudnya agar aku mendengar dengan jelas,"Mama tau ga, De seneng banget hari ini?"

"Ga tau, cinta"

"Mama tau ga, kalo De, Gi, dan Zi seneng banget hari ini?"

"Ga tau sayang. Ada apa? Ayo bagi-bagi bahagianya sama Mama", ujarku sambil meneruskan mereparasi mesin cuci. Kalau hari ini mesin cuci ini tidak selesai kureparasi, berarti besok aku harus mencuci secara manual.
 

Terdengar suara De, Gi, dan Zi berbarengan setengah berteriak dan setengah tertawa,"KARENA PAPA GA PULANG HARI INIIIIII...".
 

Deras mengalir airmataku mendengar perkataan De, Gi, dan Zi. Andai saja kamu tau, Pa...
 

Aku berdiri sambil membawa obeng kembang, isolasi hitam dan gunting menuju kamar. Aku sudahi saja mereparasi mesin cuci. Besok aku lanjutkan. Lebih baik aku bergabung dengan De, Gi, dan Zi. Kebahagiaan mereka tanpa Papanya hari ini pasti sebenarnya menyisakan luka di hati mereka. Ah cinta...

                                                                ******************








Comments

  1. Salam Takzim
    Subhannalloh sampai demikian bencimu nak. Maapkan papah ya karena selama ini dia selalu menghantui rumah ini.
    Sambil menunggu kisah selanjutnya
    Salam Takzin Batavusqu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Salam senyum...
      mungkin bukan kebencian, pak...
      tapi kegembiraan karena ga ada makian yang biasa terdengar saat si papa ada di rumah...
      :)

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Prediksi Jitu, Nomor Jitu, Akibatnya juga Jitu

Sebenarnya ini sebuah cerita dari pengalaman seorang teman beberapa tahun yang lalu. Judi, ya mengenai judi. Temanku itu bukan seorang kaya harta, tapi juga bukan seorang yang berkekurangan menurutku, karena tetap saja masih ada orang yang jauh lebih berkekurangan dibanding dia. Empat orang anaknya bersekolah di sekolah swasta yang lumayan bergengsi di kota kami dulu. Tapi temanku itu tetap saja merasa 'miskin'. Selalu mengeluh,"Aku ga punya uang, penghasilan papanya anak-anak cuma berapa. Ga cukup untuk ini dan itu." Hampir setiap hari aku mendengar keluhannya, dan aku cuma tersenyum mendengarnya. Pernah aku menjawab,"Banyak yang jauh berkekurangan dibanding kamu". Dan itu mengundang airmatanya turun. Perumahan tempat kami tinggal memang terkenal 'langganan banjir', jadi pemilik rumah di sana berlomba-lomba menaikkan rumah posisi rumah lebih tinggi dari jalan, dan temanku berkeinginan meninggikan posisi rumahnya yang juga termasuk 'langganan ba...

...Filosofi Tembok dari Seorang di Sisi Hidup...

Sisi Hidup pernah berbincang dalam tulisan dengan gw. Berbicara tentang tembok. Gw begitu terpana dengan filosofi temboknya. Begitu baiknya tembok. 'Tembok tetap diam saat orang bersandar padanya. Dia pasrah akan takdirnya. Apapun yang dilakukan orang atau siapapun, tembok hanya diam. Tak bergerak, tak menolak. Cuma diam. Tembok ada untuk bersandar. Gw mau jadi tembok' Itu yang diucapnya Gw ga habis pikir tentang fiosofi tembok yang bener-bener bisa pasrah diam saat orang berbuat apapun padanya. karena gw adalah orang yg bergerak terus. Tapi sungguh, takjub gw akan pemikiran tembok yang bener-bener berbeda ama pemikiran gw yang selalu bergerak. Tembok yang diam saat siapapun berbuat apapun padanya bener-bener menggelitik gw. Gw sempet protes, karena menurut gw, masa cuma untuk bersandar ajah?? Masa ga berbuat apa-apa?? Dan jawabannya mengejutkan gw... 'Gw memang ga pengen apa-apa lagi. Gw cuma mau diam' Gw terpana, takjub... Gw tau siapa yang bicara tentang tembok. Ora...

error bercerita tentang "SIM dan Aku"

Oktober 2007 pertama kali aku mengurus pembuatan SIM. Sebelumnya pergi kemanapun tanpa SIM. Almarhum suami tanpa alasan apapun tidak memberi ijin membuat SIM untukku, tapi dia selalu menyuruhku pergi ke sana dan ke sini lewat jalur jalan raya yang jelas-jellas harus memiliki SIM. Sesudah suami meninggal, aku langsung mengurus pembuatan SIM lewat calo. Cukup dengan foto copy kTP dan uang yang disepakati. Tidak ada test ini dan itu. Hanya foto saja yang tidak bisa diwakikan. Ya iyalah, masa foto SIM-ku itu foto wajah bapak berkumis! Hanya sebentar prosesnya, dan tralalalala, SIM sudah di tangan. Kemanapun pergi aku selalu membawa SIM di dompet, tapi tidak pernah tahu sampai  kapan masa berlakunya. Bulan April 2013 kemarin aku baru tahu ternyata masa berlakunya sudah habis. SIM-ku kadaluwarsa! Haduh, kalau SIM ini makanan, pasti sudah berbau, dan aku keracunan! Untung sekali SIM bukan makanan.   Lalu aku putus kan  membuat SIM baru, b ukan perpanjangan,  karena S...