Skip to main content

error bercerita,"Sebuah perjalanan"#episode 5

"If you're happy and you know it claps your hands...", nyanyi riang De, Gi, dan Zi, lalu bertepuk tangan prok prok prok...! Riang bernyanyi-nyanyi di atas motor yang sedang membawa mereka berkeliling perumahan. Lagu ini kerap dinyanyikan oleh kami saat kami berempat mengisi waktu bersama. Aku ingin De, Gi, Zi, selalu gembira dalam keadaan apapun. Gembira, sukacita, itu obat hati yang indah yang menghasilkan senyum. Dan senyum adalah obat hati termanis. Ya, termanis untuk hati yang luka separah apapun itu. Aku ingin De, Gi, dan Zi, memiliki obat untuk hati mereka.

"Mama, lepas tangan Ma, ayo lepas tangan", ujar Zi yang duduk di depan padaku, dan disusul oleh Gi, dan De, "Ayo lepas tangaaaan..!!", sambil tertawa-tawa.

Aku ikut tertawa, lalu mulai lagi bernyanyi,"If you're happy and you know it claps your hands...", lepas tangan dari stang motor dan bertepuk tangan 3 kali, prok prok prok!! Semakin keras De, Gi, dan Zi bernyanyi dan semakin bersemangat. Aku amat berbahagia mendengar suara riang 3 nyawa kecil tercinta ini.

"Mama, pulangnya nanti aja ya Ma... Nanti aja", pinta Gi

"Iya Ma, nanti dulu", ujar De

"Ah, memang masih nanti kok ya Ma ya...", kata Zi

Aku tersenyum mendengar permintaan mereka. Sore mulai beranjak gelap. Waktunya pulang. Aku mengarahkan motor ke jalan menuju rumah.

"Mamaaaa, kok pulaaang??", suara Zi terdengar gelisah

"Ya, cintanya Mama, sudah mulai gelap. Besok kita keliling perumahan lagi ya cinta", jawabku, dan dijawab dengan kompak,"Yaaaaa!!! Hore!".

De, Gi, dan Zi, anak-anak yang baik, lucu dan selalu riang saat bersama denganku. Sedangkan jika tidak bersama-sama, mereka berubah menjadi pendiam tanpa suara. Jika bersuara pun dengan nada yang pelan. Aku berusaha membuang 'diam' yang mereka punya, menggantinya dengan riang yang seharusnya selalu ada di hati. Sulit, tapi aku terus berusaha.

Motor berhenti di depan pagar. De turun dan membuka pagar, lalu kulihat De seperti tercekat. Diam mematung, lalu menoleh padaku. Dari gerakan bibirnya yang tanpa suara kulihat dia mengucap,"Papa". Ya GUSTI..., dia pulang tanpa pemberitahuan. Padahal biasanya sebelum pulang dia memberitahu dulu, dengan maksud agar di rumah dalam keadaan siap saat dia datang. Tak ada suara ramai saat dia datang. Juga suara De, Gi, dan Zi, harus hilang. Suara kami hanya mengganggu menurutnya. Jadi kami harus berbisik, sedangkan dia asik karaoke atau bermain PS sendirian.

De berjalan ke arahku, mukanya pucat dan terlihat takut. Aku meraihnya dan mengecup rambutnya sambil berkata,"Buka pagar lebar-lebar, tersenyum, dan tetaplah bernyanyi. Ada Mama, jangan takut". De memandangku dengan raut muka masih ragu.

"Gi, Zi, turun sayang, buka pagar lebar-lebar, tersenyum dan tetap bernyanyi. Sana bareng De. Ayo cinta, Papa ada di teras, menunggu kita", ujarku perlahan dengan nada yang kubuat seriang mungkin. Padahal di hati ada begitu banyak suara kekuatiran yang berusaha aku redam. Perlahan Gi dan Zi turun dari motor. Bertiga De, Gi, dan Zi berjalan perlahan menuju pagar. Anak-anak yang pintar, anak-anak yang patuh, anak-anak yang aku cintai...

Pagar dibuka, dan aku memasukkan motor dengan tenang. Aku tersenyum lebar melihatnya duduk di kursi teras rumah. Tenang, tenang, ujarku pada diri sendiri. Turun dari motor kudekati dia sambil mengambil kunci rumah dari saku celana.

"Pulang, Pa? Dari tadi atau barusan? Ga ngasih tau", kataku sambil tetap tersenyum dan berusaha tenang.

"Darimana? Begini ya ternyata kalau aku ga ada! Pergi keluyuran!", suaranya membentak

Aku diam saja berusaha tenang. De, Gi, dan Zi, ada di dekatku. Aku tau maksud mereka, berlindung padaku sekaligus juga memberi keberanian untukku. Ah Hans, mengapa kami harus menerima bentakan dan makian setiap kali kamu hadir di rumah...

Pintu rumah pun terbuka, De, Gi, dan Zi berlari cepat masuk ke dalam dan menuju kamar mandi untuk cuci kaki, cuci tangan dan cuci tangan. Itu kebiasaan yang aku ajarkan pada mereka. Dan ternyata saat ini juga bisa jadi alat melarikan diri dari papa mereka. Ah cinta...

"Jawab!", suara itu membentak lagi.

"Aku ajak bocah-bocah keliling perumahan. Ga lebih dari itu", jawabku dengan tenang dan tersenyum. Semoga ini memuaskan hatinya, doaku.

Aku masuk rumah menuju dapur, membuat teh manis hangat untuk suamiku, Hans. De, Gi, dan Zi, kulihat ada di kamar sedang duduk bertiga. Aku tersenyum dan berkata,"Cintanya Mamaaaa, udah cuci kaki, cuci tangan, dan cuci muka belum?". Aku tau secara pasti mereka sudah melakukan itu, tapi aku tetap bertanya itu pada mereka, itu untuk memecah hening, memecah 'diam' yang mereka punya.

"Udah Mamaaaaa", jawab mereka kompak.

Teh hangat kusediakan untuk Hans. Dia sedang duduk di ruang tamu. Masih dengan baju verjanya, tapi sudah melepas sepatu. Sepatunya kuambil, kuletakkan di rak sepatu. Diam. Hans menyeruput tehnya, lalu berkata,"Belum dijawab! Darimana tadi?!". Masih dengan nada keras.

"Aku sudah menjawab tadi, Pa. Aku ajak anak-anak keliling perumahan. Ga lebih dari itu", jawabku tenang.

"Ga ada yang boleh keluar rumah! Diam di rumah!", bentaknya.

Duh GUSTI, jangan biarkan anak-anak kami mendengar bentakan ini... Aku ingin menjaga dan memlindungi mereka dari kekerasan verbal yang selalu terjadji di rumah saat Hans ada di rumah. Aku ingin De, Gi, dan Zi, menjadi manusia penuh dengan cinta dan kasih... Tanpa luka yang ditoreh oleh orang yang seharusnya mencintai mereka dengan baik...

"Aku pulang dari tadi! Setengah jam aku menunggu kalian pulang! Dipikir aku apa, hah? Aku capek! Aku kerja! Seenaknya aja kamu!!", bentaknya penuh amarah.

GUSTI, entah apa yang terjadi sebenarnya, tapi kumohon, jangan biarkan De, Gi, dan Zi, mendengar ini... Dan aku masih terus memohon pada GUSTI, sedangkan dia masih saja terus membentakku...

**********************







Comments

  1. Suami yang tak mencintai bidadarinya.
    Hanya mencari-cari kekurangan.
    Teroris di lingkungan keluarga
    Duh, suami macam apa itu ya
    Sip ceritanya
    Layak dibukukan
    Salam sayang selalu

    ReplyDelete
  2. ya dhe, banyak teroris begini di keluarga, dan yang diteror cuma diam. suami macam apa ya namanya? suami macam teroris itu tadi... haha..!
    sip dhe, dibukukan. mau mbantu??
    kedipi ah... ;)
    salam senyum penuh cintaaaa...
    kedipi neh ;)

    ReplyDelete
  3. Salam Takzim
    Hans sini kamu bisik setan, bagus bagus teruskan seperti itu kita senang, senang sekali seperti ini.
    Huh dasar setan Auzubillahiminassyaitonirrozim
    Salam Takzim Batavusqu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hihihi...aKang bisa ajaaaa... hahaha :D

      salam senyum...
      ;)

      Delete
  4. masih suasana lebaran khan,
    jadi nggak apa2 kan kalo aku mohon dimaaafkan lahir batin kalau aku ada salah dan khilaf selama ini,
    back to zero again...sambil lirik kiri kanan nyari ketupat....salam :-)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saling memaafkan mas... :)
      Ooow maap, ketupatnya tinggal 1...#buru-buru umpetin untuk sarapan sebelum berangkat kerja :D

      salam senyum ;)

      Delete
  5. Terlalu kau Hans..

    Hatimu terbwt ∂ªя̥ì ªþª ya? >:O aªªāgGg̲̅R®H̶̲̥̅ĥħ>:O

    ReplyDelete
    Replies
    1. hmm... terbuat dari apa ya shima? Hmm, ato mungkin ga punya hati ya?? ;)
      tapi biar aja deh ya, yg penting De, Gi, dan Zi serta si Mamanya bisa menghadapi hidup dengan senyum. Ya ga?? ;)

      Delete
  6. Îчαα™ sih..

    Tpi tanpa ∂ì sadari sikap Hans mLah bkin De, Gi ðªπ Zi kuattt.. Ģªќ selama'a buruk berakhir buruk ỳªcк..

    ReplyDelete
    Replies
    1. yuup bener Shi... ambil sisi positifnya aja... ;)

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Prediksi Jitu, Nomor Jitu, Akibatnya juga Jitu

Sebenarnya ini sebuah cerita dari pengalaman seorang teman beberapa tahun yang lalu. Judi, ya mengenai judi. Temanku itu bukan seorang kaya harta, tapi juga bukan seorang yang berkekurangan menurutku, karena tetap saja masih ada orang yang jauh lebih berkekurangan dibanding dia. Empat orang anaknya bersekolah di sekolah swasta yang lumayan bergengsi di kota kami dulu. Tapi temanku itu tetap saja merasa 'miskin'. Selalu mengeluh,"Aku ga punya uang, penghasilan papanya anak-anak cuma berapa. Ga cukup untuk ini dan itu." Hampir setiap hari aku mendengar keluhannya, dan aku cuma tersenyum mendengarnya. Pernah aku menjawab,"Banyak yang jauh berkekurangan dibanding kamu". Dan itu mengundang airmatanya turun. Perumahan tempat kami tinggal memang terkenal 'langganan banjir', jadi pemilik rumah di sana berlomba-lomba menaikkan rumah posisi rumah lebih tinggi dari jalan, dan temanku berkeinginan meninggikan posisi rumahnya yang juga termasuk 'langganan ba...

...Filosofi Tembok dari Seorang di Sisi Hidup...

Sisi Hidup pernah berbincang dalam tulisan dengan gw. Berbicara tentang tembok. Gw begitu terpana dengan filosofi temboknya. Begitu baiknya tembok. 'Tembok tetap diam saat orang bersandar padanya. Dia pasrah akan takdirnya. Apapun yang dilakukan orang atau siapapun, tembok hanya diam. Tak bergerak, tak menolak. Cuma diam. Tembok ada untuk bersandar. Gw mau jadi tembok' Itu yang diucapnya Gw ga habis pikir tentang fiosofi tembok yang bener-bener bisa pasrah diam saat orang berbuat apapun padanya. karena gw adalah orang yg bergerak terus. Tapi sungguh, takjub gw akan pemikiran tembok yang bener-bener berbeda ama pemikiran gw yang selalu bergerak. Tembok yang diam saat siapapun berbuat apapun padanya bener-bener menggelitik gw. Gw sempet protes, karena menurut gw, masa cuma untuk bersandar ajah?? Masa ga berbuat apa-apa?? Dan jawabannya mengejutkan gw... 'Gw memang ga pengen apa-apa lagi. Gw cuma mau diam' Gw terpana, takjub... Gw tau siapa yang bicara tentang tembok. Ora...

error bercerita tentang "SIM dan Aku"

Oktober 2007 pertama kali aku mengurus pembuatan SIM. Sebelumnya pergi kemanapun tanpa SIM. Almarhum suami tanpa alasan apapun tidak memberi ijin membuat SIM untukku, tapi dia selalu menyuruhku pergi ke sana dan ke sini lewat jalur jalan raya yang jelas-jellas harus memiliki SIM. Sesudah suami meninggal, aku langsung mengurus pembuatan SIM lewat calo. Cukup dengan foto copy kTP dan uang yang disepakati. Tidak ada test ini dan itu. Hanya foto saja yang tidak bisa diwakikan. Ya iyalah, masa foto SIM-ku itu foto wajah bapak berkumis! Hanya sebentar prosesnya, dan tralalalala, SIM sudah di tangan. Kemanapun pergi aku selalu membawa SIM di dompet, tapi tidak pernah tahu sampai  kapan masa berlakunya. Bulan April 2013 kemarin aku baru tahu ternyata masa berlakunya sudah habis. SIM-ku kadaluwarsa! Haduh, kalau SIM ini makanan, pasti sudah berbau, dan aku keracunan! Untung sekali SIM bukan makanan.   Lalu aku putus kan  membuat SIM baru, b ukan perpanjangan,  karena S...