Skip to main content

error bercerita,"Sebuah perjalanan" # episode 17

"Mamaaaa, tadi di sekolah asyiiik", kata Zi
"Oh ya?"

"Zi dapat 100 loooh...!"

"Aaah Ziii, Gi juga dapat 100", kata Gi

"De dapat sejutaaaaa...", kata De

Aku tertawa. Celoteh-celoteh ceria ini yang setiap detik menghidupkan hariku.

"Nyanyiii nyanyiiii... yuuuk", ajak Zi

"If you're happy and you know it clap your hands...!"

Lagu itu, lagu riang yang selalu isi hari, berkumandang di rumah.

"Mamaaaa, Papa pulang apa Bogooor?", tanya Zi

"Hmm, Mama ga tau sayang. Lebih baik Papa pulang kan sayang", jawabku

"Gaaaaaa, Mamaaaaa... Lagipula kan kita udah punya makanan, Mamaaaaa..."

"Hush, ga boleh gitu cintanya Mama. Harus bisa mencintai Papa sebesar apa hayooo?? Siapa yang ingat mencintai sebesar apa?"

"Garaaaaam...!!", teriak Zi, Gi, dan De bersamaan

"Ya, mencintai sebesar garam dalam masakan. Tanpa garam, masakan jadi hambar. Begitu juga cinta dalam hidup, mencintai sebesar garam, supaya orang yang kita cintai ga hambar hidupnya", ujarku

"Tapi Papa ga sebesar garam", sergah De

"Sebesar apa?", tanyaku

"Sebesar apa yaaa? Sebesar batuuuu...!!", teriak Zi

"Batu? kok batu?", tanyaku

"Iya, nimpuk kita", ujar Zi sambil meringis

"Ah ga, Papa baik. Batunya itu untuk bikin rumah, sayang", ujarku

"Hahaha!! Iya Mama benerrr...", teriak De

"Hahaha!! Rumah baru tanpa Papa!", teriak Gi

"Mauuu... Mauuu dilempar batu lagi ahhh...!!", ujar Zi

Ah cinta, kamu ada dimana? Tiga cinta kita berteriak-teriak bahagia tanpamu...

"Lapaaar", Zi berkata sambil menggoyang-goyang tanganku

"Makan yuuk", kataku

Tin tin tin!!!

Oops! Itu...

"Papa... Papa, Maaa...", suara Zi lirih

Aku memeluk Zi, Gi, dan De,"Senyum manis. Itu Papa kita. Ga boleh gitu. Sayang Mama? Sayang juga Papa. Oke cintanya Mama?"

Dan serentak senyum manis De, Gi, Zi, mengembang. Lalu kudengar lagi klakson berulang-ulang. De berjalan gagah menuju luar sambil tersenyum, dibarengi oleh Gi, dan Zi tetap memegang erat tanganku...

Hans, bangganya aku mempunyai 2 pangeran yang menjagaku, De dan Gi, dan seorang putri yang manis hati... Apakah kamu juga merasakan hal yang sama??

***********************



Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

...Filosofi Tembok dari Seorang di Sisi Hidup...

Sisi Hidup pernah berbincang dalam tulisan dengan gw. Berbicara tentang tembok. Gw begitu terpana dengan filosofi temboknya. Begitu baiknya tembok. 'Tembok tetap diam saat orang bersandar padanya. Dia pasrah akan takdirnya. Apapun yang dilakukan orang atau siapapun, tembok hanya diam. Tak bergerak, tak menolak. Cuma diam. Tembok ada untuk bersandar. Gw mau jadi tembok' Itu yang diucapnya Gw ga habis pikir tentang fiosofi tembok yang bener-bener bisa pasrah diam saat orang berbuat apapun padanya. karena gw adalah orang yg bergerak terus. Tapi sungguh, takjub gw akan pemikiran tembok yang bener-bener berbeda ama pemikiran gw yang selalu bergerak. Tembok yang diam saat siapapun berbuat apapun padanya bener-bener menggelitik gw. Gw sempet protes, karena menurut gw, masa cuma untuk bersandar ajah?? Masa ga berbuat apa-apa?? Dan jawabannya mengejutkan gw... 'Gw memang ga pengen apa-apa lagi. Gw cuma mau diam' Gw terpana, takjub... Gw tau siapa yang bicara tentang tembok. Ora...

Prediksi Jitu, Nomor Jitu, Akibatnya juga Jitu

Sebenarnya ini sebuah cerita dari pengalaman seorang teman beberapa tahun yang lalu. Judi, ya mengenai judi. Temanku itu bukan seorang kaya harta, tapi juga bukan seorang yang berkekurangan menurutku, karena tetap saja masih ada orang yang jauh lebih berkekurangan dibanding dia. Empat orang anaknya bersekolah di sekolah swasta yang lumayan bergengsi di kota kami dulu. Tapi temanku itu tetap saja merasa 'miskin'. Selalu mengeluh,"Aku ga punya uang, penghasilan papanya anak-anak cuma berapa. Ga cukup untuk ini dan itu." Hampir setiap hari aku mendengar keluhannya, dan aku cuma tersenyum mendengarnya. Pernah aku menjawab,"Banyak yang jauh berkekurangan dibanding kamu". Dan itu mengundang airmatanya turun. Perumahan tempat kami tinggal memang terkenal 'langganan banjir', jadi pemilik rumah di sana berlomba-lomba menaikkan rumah posisi rumah lebih tinggi dari jalan, dan temanku berkeinginan meninggikan posisi rumahnya yang juga termasuk 'langganan ba...

Han

"Maafkan aku." Aku diam terpaku melihatnya. Tak bisa berkata apapun. Bulir-bulir air mata turun membasahi wajah.  "Maafkan aku, Err." Dia berkata lagi sambil mengulurkan tangannya hendak menjabat tanganku. Dan aku hanya diam tak sanggup bergerak apalagi menjawabnya. Bagaimana mungkin aku bisa bereaksi ketika tiba-tiba seseorang dari masa lalu muncul di depanku untuk meminta maaf.  Amat mengejutkan. Apalagi melihat penampilannya  yang berbeda dengan dia yang kukenal dulu. Berantakan, kotor. Rambutnya juga tak teratur. Lalu kulihat bibirnya bergerak tapi tak terdengar suaranya. Hanya saja aku tahu apa yang diucapkannya. Lagi-lagi permohonan maaf. Setelah bertahun-tahun kami tak bertemu dan tak berkomunikasi sama sekali, detik ini aku melihatnya! Masih hapal dengan sosoknya, juga hapal suaranya. Han! Bukan seorang yang gagah, juga bukan sosok kuat. Tapi dia adalah orang yang kucintai. Han yang penyayang, penuh perhatian, dan sabar. Terkadang kami berbeda pendapat dan r...