"Hai Mas", ujarku pada Mas yang datang ke rumah saat sedang sibuk seisi rumah untuk persiapan esok hari.
"Masihkah mengingat gue?"
"Ya, aku tak melupakanmu, tapi aku tak mengingatmu"
"Lo lupain gue!"
"Tidak, tak pernah aku melupakanmu sama sekali. Siapa melupakan siapa? Coba kamu bertanya pada dirimu sendiri. Apakah kamu mengingatku? Apakah kamu tidak lupa aku selama ini?"
"Gue ga pernah lupa lo!"
"Who knows?"
"Terserah! Gue ga pernah lupain lo!"
"Ya, tapi kamu tidak menghubungiku. Tidak. Ya, tidak. Aku bukan bayangan yang ada di saat terang dan hilang saat cahaya menghilang. Aku bukan malam juga bukan siang. Aku bukan matahari yang menyingkirkan kabut, aku juga bukan embun yang datang saat pagi lalu hilang saat terang mulai memanggang. Aku adalah seseorang yang ada, aku seseorang yang nyata. Bukan di hati, tapi ada di sini, di hadapanmu, kalau kamu membuka matamu. Tapi kamu menutup matamu dan terus bermain dengan hatimu sendiri. Ada di mana aku? Apakah benar aku ada di hatimu? Tidak, kurasa tidak. Jika aku ada di hatimu, kamu pasti menjaga dan tak kan pernah diam tak perduli. Jika aku ada di hatimu, kamu pasti tau aku adalah manusia yang juga punya hati. Tidak. Aku tidak di hatimu. Mungkin aku cuma ada di saku bajumu, dan dihempas saat bajumu kotor", aku berkata pada Mas. Belum pernah aku berkalimat sepanjang ini padanya, berkalimat panjang menentang ucapan pernyataannya. Ini kali pertama.
"Udah! Gue ga tau lo ngomong apa! Gue ga bisa ngomong sepintar lo!"
"Ya, terserah Mas. Aku cuma mengatakan apa yang ada di hati dan pikiranku. Mau mengerti atau tidak, itu bukan urusanku lagi. Tak kan pernah kamu bisa mengerti ,karena kamu cuma tau dimengerti, tapi nol untuk mau mengerti", jawabku dengan tenang.
"Bukan, bukan itu maksud gue...", suara Mas melemah.
"Entah, aku tidak tau maksud sikapmu yang seakan menjauh. Aku tidak tau maksudmu melepaskanku menikah dengan orang lain. Aku tidak mengerti. Sungguh aku tak mengerti. Aku cuma menerima perlakuan sikapmu tanpa bisa apa-apa. Persis sama sepertimu yang dulu Mas ucap padaku, bahwa Mas tidak bisa berbuat apa-apa walaupun mencintaiku. Ingat? Ingatkah Mas dengan perkataan Mas," Gue mencintai lo, tapi gue ga bisa menikahi lo. Gue beristri. Gue mengikhlaskan lo dengannya. Jika baik untuk lo dan anak-anak, gue ikhlas. Gue ga bisa berbuat apa-apa. Gue tetap menyayangi lo dan anak-anak ", ujarku sambil menirukan ucapan yang pernah diucap Mas padaku.
Kulihat wajah Mas mengeras, tapi ada airmata hendak turun mengalir dari matanya. Ah Mas...
"Maaf, lo mau memaafkan gue?"
"Aku memaafkanmu, Mas, karena itu aku memilih untuk menikah dengan yang lain. Aku mengikhlaskanmu untuk pergi dari hidupku. Aku mengikhlaskanmu menghilang dari kehidupanku. Aku mengikhlaskanmu tidak bersemayam dalam hatiku. Aku akan menikah, dan aku menyayanginya seperti dia pun menyayangiku. Aku dilindungi olehnya, dan aku benar terlindung. Dicintainya aku, dan aku merasa cintaku pun sudah seharusnya untuknya. Tak perlu meminta maaf padaku, Mas. Akupun tak kan lagi meminta maaf padamu. Cintaku utuh miliknya, calon suamiku, yang memang benar akan menjadi suamiku. Doaku untukmu, bahagia selalu, Mas. Bersahabat adalah hal terindah untuk kita. Ya, kita. Aku, calon suamiku, juga Mas. Bukan hanya antara aku dan Mas, tapi juga dengannya...", ucapku pada Mas.
Kulihat mata Mas meredup. Kuambil tangannya, kugenggam erat dan berkata," Aku ada sebagai sahabatmu. Ya, aku sahabatmu. Aku menikah esok, datanglah kalau sempat. Aku dan dia adalah sahabatmu. Ya, kami sahabatmu"
"Ya, tutup cerita tentang kita, Mas...", tambahku dalam hati.
***********************
"Masihkah mengingat gue?"
"Ya, aku tak melupakanmu, tapi aku tak mengingatmu"
"Lo lupain gue!"
"Tidak, tak pernah aku melupakanmu sama sekali. Siapa melupakan siapa? Coba kamu bertanya pada dirimu sendiri. Apakah kamu mengingatku? Apakah kamu tidak lupa aku selama ini?"
"Gue ga pernah lupa lo!"
"Who knows?"
"Terserah! Gue ga pernah lupain lo!"
"Ya, tapi kamu tidak menghubungiku. Tidak. Ya, tidak. Aku bukan bayangan yang ada di saat terang dan hilang saat cahaya menghilang. Aku bukan malam juga bukan siang. Aku bukan matahari yang menyingkirkan kabut, aku juga bukan embun yang datang saat pagi lalu hilang saat terang mulai memanggang. Aku adalah seseorang yang ada, aku seseorang yang nyata. Bukan di hati, tapi ada di sini, di hadapanmu, kalau kamu membuka matamu. Tapi kamu menutup matamu dan terus bermain dengan hatimu sendiri. Ada di mana aku? Apakah benar aku ada di hatimu? Tidak, kurasa tidak. Jika aku ada di hatimu, kamu pasti menjaga dan tak kan pernah diam tak perduli. Jika aku ada di hatimu, kamu pasti tau aku adalah manusia yang juga punya hati. Tidak. Aku tidak di hatimu. Mungkin aku cuma ada di saku bajumu, dan dihempas saat bajumu kotor", aku berkata pada Mas. Belum pernah aku berkalimat sepanjang ini padanya, berkalimat panjang menentang ucapan pernyataannya. Ini kali pertama.
"Udah! Gue ga tau lo ngomong apa! Gue ga bisa ngomong sepintar lo!"
"Ya, terserah Mas. Aku cuma mengatakan apa yang ada di hati dan pikiranku. Mau mengerti atau tidak, itu bukan urusanku lagi. Tak kan pernah kamu bisa mengerti ,karena kamu cuma tau dimengerti, tapi nol untuk mau mengerti", jawabku dengan tenang.
"Bukan, bukan itu maksud gue...", suara Mas melemah.
"Entah, aku tidak tau maksud sikapmu yang seakan menjauh. Aku tidak tau maksudmu melepaskanku menikah dengan orang lain. Aku tidak mengerti. Sungguh aku tak mengerti. Aku cuma menerima perlakuan sikapmu tanpa bisa apa-apa. Persis sama sepertimu yang dulu Mas ucap padaku, bahwa Mas tidak bisa berbuat apa-apa walaupun mencintaiku. Ingat? Ingatkah Mas dengan perkataan Mas," Gue mencintai lo, tapi gue ga bisa menikahi lo. Gue beristri. Gue mengikhlaskan lo dengannya. Jika baik untuk lo dan anak-anak, gue ikhlas. Gue ga bisa berbuat apa-apa. Gue tetap menyayangi lo dan anak-anak ", ujarku sambil menirukan ucapan yang pernah diucap Mas padaku.
Kulihat wajah Mas mengeras, tapi ada airmata hendak turun mengalir dari matanya. Ah Mas...
"Maaf, lo mau memaafkan gue?"
"Aku memaafkanmu, Mas, karena itu aku memilih untuk menikah dengan yang lain. Aku mengikhlaskanmu untuk pergi dari hidupku. Aku mengikhlaskanmu menghilang dari kehidupanku. Aku mengikhlaskanmu tidak bersemayam dalam hatiku. Aku akan menikah, dan aku menyayanginya seperti dia pun menyayangiku. Aku dilindungi olehnya, dan aku benar terlindung. Dicintainya aku, dan aku merasa cintaku pun sudah seharusnya untuknya. Tak perlu meminta maaf padaku, Mas. Akupun tak kan lagi meminta maaf padamu. Cintaku utuh miliknya, calon suamiku, yang memang benar akan menjadi suamiku. Doaku untukmu, bahagia selalu, Mas. Bersahabat adalah hal terindah untuk kita. Ya, kita. Aku, calon suamiku, juga Mas. Bukan hanya antara aku dan Mas, tapi juga dengannya...", ucapku pada Mas.
Kulihat mata Mas meredup. Kuambil tangannya, kugenggam erat dan berkata," Aku ada sebagai sahabatmu. Ya, aku sahabatmu. Aku menikah esok, datanglah kalau sempat. Aku dan dia adalah sahabatmu. Ya, kami sahabatmu"
"Ya, tutup cerita tentang kita, Mas...", tambahku dalam hati.
***********************
Salam takzim
ReplyDeleteTak teras menetes air mata ini, begitu mulia dia, andai saja
Salam Takzim Batavusqu
Salam senyum...
DeleteMakasih udah menghayati...
;)
kunjungan perdana, nyimak dulu sob
ReplyDeleteyuup silakan... ini episode terakhir, episode ke 17. Kalau mau tau cerita sebelumnya, bisa dilihat di catatan panjang ;)
Deletesungguh bisa ya mbak tutup cerita ?
ReplyDeletesemoga memang bisa...
ya, semoga memang bisa... ;)
ReplyDelete