Skip to main content

error bercerita,"Go"

Aku duduk melihat putraku Joy yang sedang asik bermain di taman samping rumah kami. Bermain perosotan sendirian sambil tertawa dan bernyanyi. Aku bahagia melihat Joy amat menikmati ini semua. Bocah usia 7 tahun yang sibuk dengan segala permainan dan bersekolah tanpa harus bersusah payah ikut mencari sesuap nasi. Tidak seperti aku dulu. Ah, ingatanku jadi melayang ke rangkaian masa lalu yang ada dalam hidupku. Tiga puluh empat tahun yang lalu, saat usiaku sama dengan Joy...


"Gooo...!! Gooo...!!"


Aku berlari menuju rumah saat mendengar suara ibu memanggilku. Ibu pasti sudah memasak enak untukku. Ibu memang ibu yang sempurna bagiku, seorang ibu yang baik.


"Ya buuuuuuuuuu...!!", aku berteriak masih berlari


"Haduh kamu ini Go, Go... Makan dulu. Pasti kamu lapar sesudah ngamen seharian tadi. Anak ibu memang hebat! Suara merdu, pintar di sekolah. Cah bagus, besok jadi orang hebat ya. Jangan jadi seperti ibumu, apalagi seperti bapakmu. Jangan ditiru yo cah bagus", ujar ibu padaku sambil memelukku. Pelukan hangat seorang ibu yang amat menenangkanku. Hilang lelahku dihapus dekapan ibu dan juga ciumannya.


"Ya, bu. Aku mau jadi orang hebat! Ibu juga hebat, dan aku mau lebih hebat dari ibu. Aku mau beli rumah untuk ibu, yang baguuuuuuuuuuus! Aku mau cari uang yang banyak, jadi ibu ga usah susah-susah keluar malam lagi. Ga usah pulang pagi lagi. Aku janji, aku mau jadi orang hebat. Jadi nanti nama anakku juga ga salah tulis ya bu. Ibu kan cerita, namaku Nugoho karena ibu salah mengeja tulisan kan ya bu... Seharusnya Nugroho ya bu ya? Nugroho itu anugerah ya bu? Tapi biarpun namaku Nugoho, aku tetap anugerah kan ya bu ya??", ujarku beruntun pada ibu yang masih setia memelukku, lalu menatap mataku dalam-dalam. Ada bening kaca di mata ibu. Aku melihatnya tersenyum.


"Iyo, Go, iyo. Pasti kamu jadi orang hebat. Ibu doakan kamu setiap saat", ibu berkata padaku. Lalu ditambahkannya,"Ayo makan dulu, ibu udah masak sarden kesukaanmu. Tadi ibu beli di warung depan sana. Makan yang banyak, biar cepat besar, dan bisa jadi orang hebat".


Aku digandeng ibu ke dapur. Lalu diambilkannya aku makan, dan diberikannya padaku yang menunggunya sambil duduk di lantai semen dapur. Ini kebiasaanku setiap kali makan.


"Bu, enaaak! Ibu memang pandai memasak! Aku sayaaang sama ibu", kataku pada ibu


"Jangan bicara kalau sedang makan. Ingat, orang hebat itu tenang, ga ribut waktu makan. Ibu temani sampai makanmu habis, lalu ibu pergi ya. Ibu harus cari uang yang banyak untuk kamu supaya bisa jadi orang hebat", ujar ibu sambil tersenyum padaku. Aku mengangguk kuat-kuat. Orang hebat, ya, orang hebat, aku mau jadi orang hebat!


Ibuku seorang pelacur. Ah, bukan. Ibu seorang penjual mimpi, mimpi para laki-laki yang bagai musang gurun datang menyergap. Ibu menjual mimpi pada laki-laki di malam hari, di gelapnya malam, dan dalam dinginnya malam. Ibuku orang hebat! Apapun kata orang tentang ibu, ibu tetap orang hebat! Pagi-pagi ibu pulang dan tidur sejenak, dan masih sempat menyediakan sarapan untukku sebelum berangkat sekolah. Pulang sekolah aku bisa makan masakan ibu, lalu aku berangkat ngamen. Di hari Minggu, sejak pagi aku ngamen sampai sore. Hasilnya lumayan untuk menambah uang belanja ibu. Malam hari ibu pergi lagi, dan pulang pagi hari, dan begitu terus...


Bapakku seorang musang gurun. Haha, musang gurun! Entah ada atau tidak hewan musang gurun itu, aku tak tau. Aku mendengar istilah musang gurun dari obrolan orang-orang di warung kopi saat aku ngamen. Musang gurun... Hmm, hewan malam yang hidup di lahan tandus, mungkin. Tapi bapakku bisa jadi seorang musang kota. Haha, entahlah, yang jelas bapak selalu pulang dalam keadaan mabuk. Bau alkohol memuakkan selalu tercium dari mulut bapak. Bapakku seorang preman. Ya, preman. Setiap hari hanya minta uang pada ibu. Ibu dihajarnya jika tak ada uang. Ibu, ibu yang amat lembut dihajar bapak setiap hari. Ufh, andai saja dulu aku sudah punya tenaga besar, pasti sudah kulawan bapak karena menyakiti ibu.


Ingatanku terus menyusuri kejadian hidup yang tersimpan jadi kenangan. Dimana aku selalu mendapati ibu tersenyum padaku, menyayangiku dengan sepenuh hati. Tak pernah ibu memarahiku dengan nada keras. Ibu orang terbaik, dan terhebat. Aku takkan pernah mau berpisah dengan ibu! Hingga satu malam, ibu harus berpisah denganku...


"Heh!! Duiit, mana duiiit?!", suara bapak berteriak pada ibu


"Ga ada, pak. Sudah kubelanjakan tadi untuk masak", jawab ibu dengan nada lembut


"Alasan!! Dasar perempuan ga tau diri! Enak-enakkan dengan laki-laki lain, tapi ga ngasih uang untuk suami!! Perempuan sial!!!"


"Pak! Tega benar to pak kamu bicara. Aku begini untuk makan kita, pak. Aku juga ga mau bekerja begini. Tapi aku bisa apa? Bapak juga ga bekerja. Coba lihat bapak sendiri bagaimana? Memangnya bapak memberi nafkah untuk makan, untuk hidup, untuk sekolah Go", jawab ibu dengan airmata berlinang.


Aku mengintip dari gorden kamar yang kumal. Lalu kulihat bapak mendekati ibu dan menamparnya hingga ibu terjatuh, seperti biasanya. Aku menahan nafas. Lalu kulihat bapak berjalan ke arah dapur. Pisau!! Aku melihat pisau di tangan bapak. Jantungku berdegup kencang. Oh, tidak!!! Ibu!! Ibu!! Bapak menusukkan pisau ke tubuh ibu! Ibu lunglai, jatuh, darahnya genangi lantai semen rumah. Aku gemetar, takut untuk berlari ke arah ibu. Airmata mulai mengalir di pipiku. Lalu kulihat bapak keluar rumah.


Dengan langkah tergesa dan gemetar, aku mendatangi ibu, mencium pipinya. Ibu tersenyum dan menatapku. Terdengar suara lemah ibu,"Ibu menyayangi Go, jadi orang hebat ya Go...". Belum sempat kumenjawab, ibu menutup mata selama-lamanya. Aku terhenyak. Tak tau harus bagaimana. Hanya airmata deras membanjiriku, dan aku terisak. Ibu, ibu, ibu... Ibu meninggalkanku. Dan bapak? Sejak saat itu aku tak pernah mendengar kabar mengenai bapak. Bapak menghilang. Bertahun setelah itu banyak orang berkata bahwa bapak menjadi korban tembak penembak misterius yang menumpas para preman.


Sepeninggal ibu aku sendirian. Seorang guruku ingin mengadopsiku dan menginginkanku tinggal di rumahnya. Aku merasa senang, tapi aku tak bisa meninggalkan rumah kami. Di rumah itu ada banyak kenangan kisah kasih ibu dan aku. Jadi aku tetap tinggal di rumah kecil milik kami setiap malam menjelang, lalu pagi-pagi pergi ke sekolah, sepulang sekolah aku pulang ke rumah guruku yang kemudian kupanggil dengan sebutan,"Mama". Mama seorang single parent dan mempunyai 1 orang putri bernama Era, yang biasa dipanggil dengan sebutan Er.Er berusia 2 tahun lebih muda dariku.


Aku tetap ngamen. Setiap pulang dari rumah Mama, aku menyempatkan diri ngamen sebentar. Lumayan, bisa untuk kutabung. Hari Minggu juga aku ngamen seharian. Mama sebenarnya melarangku, tapi aku tetap ngamen. Toh aku tetap juara kelas. Aku ingin jadi orang hebat, itu cita-citaku.


Aku selalu mendapat beasiswa. Hingga akhirnya aku bisa kuliah di sebuah Universitas ternama di kotaku. Psikologi, ya, itu fakultas yang kuambil. Itu juga mendapat beasiswa. Sewaktu kuliah aku menjadi asisten dosen. Itu banyak membantuku lebih mendalami ilmu yang kutekuni. Dan aku tetap tinggal di rumah kenangan kecil bersama ibu.


Mama menyayangiku seperti anaknya sendiri. Mama bangga padaku. Aku juga amat menyayangi Mama, dan berterimakasih karena telah menyekolahkanku, memberiku kasih dan cinta seorang ibu. Tak dibedakannya aku dengan Er. Er tumbuh menjadi wanita lembut dan ayu. Lama-lama rasa cintapun tumbuh untuk Er. Dengan restu dari Mama, aku menjalin kasih dengan Er.


Aku bekerja di sebuah perusahaan swasta setelah lulus kuliah, lalu karierku menanjak. Sekarang aku mempunyai perusahaan sendiri. Semua karena kasih ibu dan mama. Rumah kecil kenangan kujadikan rumah singgah untuk anak-anak pengamen sepertiku dulu.


"Papaaaaa...!!"


Aku tersentak. Joy memanggilku. Dia melambaikan tangannya lalu berlari ke arahku.


"Papa, nanti sore jadi kan ke rumah singgah kasih ibu? Aku mau ke sana. Oh iya Pa, besok kan hari Minggu, kita ke makam nenek ya Pa ya? Aku mau ngomong sama nenek, Joy juga mau jadi orang hebat. Hebat seperti Papa", ujar Joy dengan suara polosnya.


"Ya, Joy, ya. Ayo mandi dulu. Mama sudah menyiapkan makanan kesukaanmu", jawabku


Masuk rumah, kulihat istriku sedang menyiapkan makan dibantu oleh pembantu kami.


"Joy, Pa, mandi dulu. Nanti kita pergi kan? Mama sudah menyiapkan makan nih. Makanan untuk anak-anak rumah singgah juga sudah Mama siapkan. Ayo cepat mandi", istriku tercinta berkata dengan penuh senyum. Er, ya, dia Er, istriku yang lembut dan ayu...


                     ***********************************












Comments

Popular posts from this blog

Prediksi Jitu, Nomor Jitu, Akibatnya juga Jitu

Sebenarnya ini sebuah cerita dari pengalaman seorang teman beberapa tahun yang lalu. Judi, ya mengenai judi. Temanku itu bukan seorang kaya harta, tapi juga bukan seorang yang berkekurangan menurutku, karena tetap saja masih ada orang yang jauh lebih berkekurangan dibanding dia. Empat orang anaknya bersekolah di sekolah swasta yang lumayan bergengsi di kota kami dulu. Tapi temanku itu tetap saja merasa 'miskin'. Selalu mengeluh,"Aku ga punya uang, penghasilan papanya anak-anak cuma berapa. Ga cukup untuk ini dan itu." Hampir setiap hari aku mendengar keluhannya, dan aku cuma tersenyum mendengarnya. Pernah aku menjawab,"Banyak yang jauh berkekurangan dibanding kamu". Dan itu mengundang airmatanya turun. Perumahan tempat kami tinggal memang terkenal 'langganan banjir', jadi pemilik rumah di sana berlomba-lomba menaikkan rumah posisi rumah lebih tinggi dari jalan, dan temanku berkeinginan meninggikan posisi rumahnya yang juga termasuk 'langganan ba...

...Filosofi Tembok dari Seorang di Sisi Hidup...

Sisi Hidup pernah berbincang dalam tulisan dengan gw. Berbicara tentang tembok. Gw begitu terpana dengan filosofi temboknya. Begitu baiknya tembok. 'Tembok tetap diam saat orang bersandar padanya. Dia pasrah akan takdirnya. Apapun yang dilakukan orang atau siapapun, tembok hanya diam. Tak bergerak, tak menolak. Cuma diam. Tembok ada untuk bersandar. Gw mau jadi tembok' Itu yang diucapnya Gw ga habis pikir tentang fiosofi tembok yang bener-bener bisa pasrah diam saat orang berbuat apapun padanya. karena gw adalah orang yg bergerak terus. Tapi sungguh, takjub gw akan pemikiran tembok yang bener-bener berbeda ama pemikiran gw yang selalu bergerak. Tembok yang diam saat siapapun berbuat apapun padanya bener-bener menggelitik gw. Gw sempet protes, karena menurut gw, masa cuma untuk bersandar ajah?? Masa ga berbuat apa-apa?? Dan jawabannya mengejutkan gw... 'Gw memang ga pengen apa-apa lagi. Gw cuma mau diam' Gw terpana, takjub... Gw tau siapa yang bicara tentang tembok. Ora...

error bercerita tentang "SIM dan Aku"

Oktober 2007 pertama kali aku mengurus pembuatan SIM. Sebelumnya pergi kemanapun tanpa SIM. Almarhum suami tanpa alasan apapun tidak memberi ijin membuat SIM untukku, tapi dia selalu menyuruhku pergi ke sana dan ke sini lewat jalur jalan raya yang jelas-jellas harus memiliki SIM. Sesudah suami meninggal, aku langsung mengurus pembuatan SIM lewat calo. Cukup dengan foto copy kTP dan uang yang disepakati. Tidak ada test ini dan itu. Hanya foto saja yang tidak bisa diwakikan. Ya iyalah, masa foto SIM-ku itu foto wajah bapak berkumis! Hanya sebentar prosesnya, dan tralalalala, SIM sudah di tangan. Kemanapun pergi aku selalu membawa SIM di dompet, tapi tidak pernah tahu sampai  kapan masa berlakunya. Bulan April 2013 kemarin aku baru tahu ternyata masa berlakunya sudah habis. SIM-ku kadaluwarsa! Haduh, kalau SIM ini makanan, pasti sudah berbau, dan aku keracunan! Untung sekali SIM bukan makanan.   Lalu aku putus kan  membuat SIM baru, b ukan perpanjangan,  karena S...