"Jan"
"Ya, hujan", ujarku
"Jan"
"Ya, sayangnya mama, hujan"
"Jan"
"Ya, hujan. Airnya turun dari langit, basahi bumi. Masih ingat cerita tentang hujan? Air menguap naik menuju langit, lalu berkumpul menjadi awan. Awan yang di atas sana, di langit sana, kita melihatnya setiap kali. Lalu semakin banyak uap air berkumpul menjadi satu, awan menjadi berat, uap air turun menjadi air hujan. Masih ingat sayang?", kataku padanya, Ngka kecil yang belum bersekolah waktu itu.
"Bes as"
"Ya, basah semua terkena hujan. Ayo kita ke depan", ajakku pada Ngka. Ngka dalam gendonganku.
Pintu kawat depan kubuka, dan dengan Ngka tetap dalam gendongan kuulurkan tanganku agar terkena air hujan, dan kuusapkan tanganku yang basah pada tangannya yang kecil. Ngka mengulurkan tangannya meniru perbuatanku. Lalu aku maju sedikit agar tangan mungilnya juga terkena air hujan. Ada binar sukacita di matanya! Hujan ini membuatnya gembira.
Aku menggendongnya masuk kembali ke dalam rumah. Pintu kawat kututup hanya agar menjaga Ngka tak keluar rumah. Wajah polosnya memandang luar, memandang hujan. Ngka tercinta sedang asik memandang hujan.
Aku angsurkan kertas HVS dan crayon padanya, sambil akupun mencorat-coret kertas yang ada padaku.
"Hujan", kataku. Dan kuulangi lagi,"Hujan".
Ngka mengambil kertas dan crayon lalu sibuk mencorat-coret kertas putih. Sekejap kemudian aku terkagum dengan hasil coretannya. Coretan sederhana tergambar di situ, persegi empat dengan banyak garis-garis dan ada titik-titik di sana.
"Jan", katanya sambil seperti tak perduli
"Bagusnya! Ini hujan? Iya ya sayang, hujan yang Ngka lihat dari pintu ya?", tanyaku. Dan Ngka sudah sibuk dengan jari-jarinya sendiri. Crayon sudah tak menarik lagi baginya. Aku memperhatikan Ngka dan kuberi nama jari tangannya. Ibu jari adalah Eyang, jari telunjuk adalah Papa, jari tengah adalah Mama, jari manis adalah Ngka, dan jari kelingking adalah saudara. Tak diperhatikannya aku yang sedang bercerita padanya. Tapi aku tetap bercerita sambil sesekali memegang mukanya dengan kedua tanganku agar matanya melihat padaku. Dan terus begitu.
Hujan ini membuatku teringat akan hari yang telah berlalu. Itu belasan tahun yang lalu. Hujan mengajakku bersyukur, bahwa sekarang Ngka tumbuh dan berkembang menjadi pemuda gagah yang hebat...
Salam senyum penuh cinta,
error
"Ya, hujan", ujarku
"Jan"
"Ya, sayangnya mama, hujan"
"Jan"
"Ya, hujan. Airnya turun dari langit, basahi bumi. Masih ingat cerita tentang hujan? Air menguap naik menuju langit, lalu berkumpul menjadi awan. Awan yang di atas sana, di langit sana, kita melihatnya setiap kali. Lalu semakin banyak uap air berkumpul menjadi satu, awan menjadi berat, uap air turun menjadi air hujan. Masih ingat sayang?", kataku padanya, Ngka kecil yang belum bersekolah waktu itu.
"Bes as"
"Ya, basah semua terkena hujan. Ayo kita ke depan", ajakku pada Ngka. Ngka dalam gendonganku.
Pintu kawat depan kubuka, dan dengan Ngka tetap dalam gendongan kuulurkan tanganku agar terkena air hujan, dan kuusapkan tanganku yang basah pada tangannya yang kecil. Ngka mengulurkan tangannya meniru perbuatanku. Lalu aku maju sedikit agar tangan mungilnya juga terkena air hujan. Ada binar sukacita di matanya! Hujan ini membuatnya gembira.
Aku menggendongnya masuk kembali ke dalam rumah. Pintu kawat kututup hanya agar menjaga Ngka tak keluar rumah. Wajah polosnya memandang luar, memandang hujan. Ngka tercinta sedang asik memandang hujan.
Aku angsurkan kertas HVS dan crayon padanya, sambil akupun mencorat-coret kertas yang ada padaku.
"Hujan", kataku. Dan kuulangi lagi,"Hujan".
Ngka mengambil kertas dan crayon lalu sibuk mencorat-coret kertas putih. Sekejap kemudian aku terkagum dengan hasil coretannya. Coretan sederhana tergambar di situ, persegi empat dengan banyak garis-garis dan ada titik-titik di sana.
"Jan", katanya sambil seperti tak perduli
"Bagusnya! Ini hujan? Iya ya sayang, hujan yang Ngka lihat dari pintu ya?", tanyaku. Dan Ngka sudah sibuk dengan jari-jarinya sendiri. Crayon sudah tak menarik lagi baginya. Aku memperhatikan Ngka dan kuberi nama jari tangannya. Ibu jari adalah Eyang, jari telunjuk adalah Papa, jari tengah adalah Mama, jari manis adalah Ngka, dan jari kelingking adalah saudara. Tak diperhatikannya aku yang sedang bercerita padanya. Tapi aku tetap bercerita sambil sesekali memegang mukanya dengan kedua tanganku agar matanya melihat padaku. Dan terus begitu.
Hujan ini membuatku teringat akan hari yang telah berlalu. Itu belasan tahun yang lalu. Hujan mengajakku bersyukur, bahwa sekarang Ngka tumbuh dan berkembang menjadi pemuda gagah yang hebat...
Salam senyum penuh cinta,
error
PS : Autis bukan hal buruk, selama bisa menerimanya dengan cinta...
Comments
Post a Comment