Skip to main content

error tentang,"Terakhir bernafas bersama"

Setelah selama tiga minggu mendampingi Henk di rumah sakit swasta di kota tempat tinggal kami dulu, ternyata pagi itu adalah hari terakhir bersamanya. Aku berdiri di samping tempat tidurnya, berkata,"Tenang Pa, ada aku di sini". Dijawabnya aku dengan lenguhan berat tertahan. Ya, pagi itu 28 September2007, Henk sudah dalam keadaan koma. Matanya terpejam sudah, tapi masih bisa menjawabku dengan lenguhan berat tertahannya itu. Aku menggenggam erat tangannya dan mengelus rambutnya sambil terus berkata,"Ya, aku ada di sini". Lalu kulanjutkan,"Nyanyi yuk pa, nyanyi. Nyanyi aja bareng aku". Dan aku mulai bernyanyi di telinganya. Lagu doa, doa pujian bagi GUSTI, Pemilik Hidup dan Mati. Aku menghubungi rumah. Dua orang tuaku menginap di rumah kami sejak tau bahwa suamiku sakit di rumah sakit. "Jangan ada yang menangis. Ga ada yang boleh menangis. kondisi Henk sudah koma", ujarku di ponsel.


Ngka datang dijemput dari sekolah oleh seorang sahabat. Sms dari sahabatku masuk di ponsel berbunyi, Ngka ada di sini, di gerbang rumah sakit. Aku berlari sekencang-kencangnya menuju gerbang yang lumayan jauh dari kamar Henk, suamiku, tanpa sandal. Yang ada dalam benakku cuma,"Ngka harus segera ada di sisi papanya sekarang, sebelum terlambat". Setelah ada di gerbang kukatakan pada penjaga gerbang yang tidak memperbolehkan anakku masuk,"Papanya koma. Apa kamu mau bertanggung jawab kalau papanya tiada dan anakku tak sempat bertemu papanya?". Penjaga tersentak lalu membukakan gerbang. Ngka tersenyum, lalu tertawa. Ah Ngka-ku tercinta...


"Ayo lari sayang, lari. Ayo lari", ajakku pada Ngka sambil terus berlari dan Ngka mengikuti sambil tertawa-tawa. Lari semakin kencang. Dan tibalah di kamar Henk, suamiku, papa Ngka, Esa, dan Pink.


Ramai kamar Henk oleh teman kantornya yang kebetulan datang membesuk dan beberapa kakaknya. Ngka terlihat kebingungan.


"Bisik ke papa, Ngka ada di sini, pa. Ayo ka", kataku


"Ngka di sini, pa", ujar Ngka


Tapi sudah tak bisa menjawab lagi... Luruh airmata Ngka. Aku takjub melihat airmata itu turun. Ngka sudah mulai bisa berekspresi. Aku kembali berada di samping Henk, duduk di pinggir tempat tidur. Rencana pagi ini adalah membawa Henk pulang ke rumah, karena itu adalah permintaannya sebelum koma.


"Ngka sama mama di ambulans ya sayang. Ngka sama mama temani papa", ujarku. Ngka mengangguk mengiyakan.


Aku terus berada di sisi Henk, bersama Ngka, dan terus bernyanyi sambil sesekali berkata padanya memberitahu sudah sampai dimana kami berada,"Sabar pa, baru mau menuju gerbang", "Sabar pa, sudah hampir sampai ambulans". Sedangkan Ngka berlari-lari kecil mengikuti papanya yang didorong menuju ambulans berada.


Di ambulans, sirene berteriak-teriak seakan mengerti teriakan dalam hatiku. Ya, aku berteriak dalam hati tentang kesedihan. Tapi aku tak ingin menangis. Airmata tak menetes, apalagi mengalir. Semua ada di dalam hati. Cuma hati yang tau... dan GUSTI pastinya. Ngka duduk di sebelahku diam tak berkata apapun. Airmatanya sudah kering dihapus sejak di kamar, karena kuminta dia untuk tidak menangisi yang terjadi. Rela, ikhlas untuk papa, itu yang kuminta, dan Ngka berhenti meneteskan airmata. Dua perawat ada di sisi kepala Henk. Aku bernyanyi terus di ambulans sambil terus memberitahu perjalanan sudah sampai di mana. "Sabar pa, sudah keluar rumah sakit", "Sabar pa, sudah sampai di sini dan di sini dan di sini", itu yang selalu kukatakan padanya sambil terus bernyanyi. Sedangkan suara mengorok terdengar dari Henk. Henk sudah tak lagi bisa menjawabku sama sekali. Tapi aku tak perduli. Aku terus menerus mengajaknya bernyanyi dan bicara. "Aku janji, ga ada lagi rumah sakit. Aku janji ga ada lagi obat-obatan yang menyakiti. Aku janji papa ga merasa sakit lagi", ucapku.


"Bu, kita belok sebelah mana?", suara memecah nyanyianku. Oh, ternyata teman suamiku duduk di sebelah sopir ambulans. Dan aku menjawab dengan tegas,"Nanti aku kasih tau. Sekarang aku masih nyanyi". Aku tak mau kehilangan suamiku karena aku tak memperdulikannya di saat koma. Aku mau Esa juga Pink bisa bertemu papanya selagi masih hidup. Aku cuma merasa ini jalan yang harus kutempuh, bernyanyi, mengajaknya bicara. Berkomunikasi terus, ajak Henk untuk tetap ada...


Sesampai di depan pagar rumah, aku berkata pada Henk,"Pa, sudah sampai di depan pagar. Sampai rumah. pa. Sabar". Dua perawat menurunkan Henk. Aku terus berada di sisinya. Esa, Pink, ada di depan pintu. Muka lugu mereka tampak bingung. Ngka, Esa, Pink kudekap, kugandeng untuk terus mengikuti perawat yang membawa papa mereka menuju kamar.


"Sudah sampai di kamar, pa. Sudah di tempat tidurmu", kataku. Ngka, Esa, Pink duduk di tempat tidur. Mereka memandang tanpa berkedip. Aku masih terus menggenggam tangan Henk, dan nafasnya semakin berat. Serasa melihatnya tercekik setiap kali, hingga kubisikkan padanya,"Aku janji, merawat anak-anak bener, pa. Aku janji, bener merawat anak-anak". Tak lama kemudian kulihat Henk menghembuskan nafas terakhirnya.


"Sudah ga ada", ujarku


Dua perawat langsung mengecek nafas dan nadi di leher Henk. "Masih, tapi lemah", ujar perawat wanita. Selepas dia berucap, dilanjutkan,"Sudah tidak ada sekarang".


Rasanya dihantam gada besar dan berat, tapi juga merasa lega. Henk tercinta sudah lepas dari kesakitan di usianya yang ke 39 tahun. Henk sudah lepas dari kanker hati. Ngka yang berusia 11 tahun, Esa 8 tahun, dan Pink yang menjelang 7 tahun di Desember 2007, menangis. Lalu kukatakan pada mereka,"Mama ga bohong kan sayang? Pintu surga papa udah datang. Papa udah di surga sekarang". Ya, sewaktu Henk sakit di rumah sakit dan dokter berkata sudah tak bisa ditolong lagi, aku mulai memberitahu Ngka, Esa, Pink tentang kondisi papa mereka, dan tentang surga.


Dan Ngka menjawab,"Ya, mama ga bohong". Lalu tiga nyawa keciku berhenti menangis, mereka menghapus airmata.


Ini adalah puasa Ramadhan ke-6 Henk pindah ke surga. Saat bernafas bersama terakhir adalah di saat puasa Ramadhan. Semoga pengampunan atas Henk diberikan oleh GUSTI ALLAH, dan diberi surga untuknya, amin...



Salam senyum penuh cinta,
error


Comments

  1. kisah yang mengharukan mbak, semoga om Henk diberikan tempat yang pantas di alam sana

    sukses buat GA nya mbak?

    ReplyDelete
    Replies
    1. amin...
      makasih mas Imam atas doa juga dukungannya :)

      makasiiih :)

      Delete
  2. baca ini seperti terlempar kemasa lalu ketika aku harus menghadapi adik melepas napas..dirumah sakit ..sedih dan sakit sekali...tetap tabah ya mba....n sukses yap

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih mbak supportnya...
      Menyedihkan pastina ya mbak sewaktu menghadapi kepergian adik mbak di rs. Tabah ya mbak, surga tempat damai untuk adik mbak, amin...

      Makasih mbak :)

      Delete
  3. Semoga suaminya ditempatkan di tempat terbaik yah mbak..
    Tulisannya mengharukan. :'(

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Prediksi Jitu, Nomor Jitu, Akibatnya juga Jitu

Sebenarnya ini sebuah cerita dari pengalaman seorang teman beberapa tahun yang lalu. Judi, ya mengenai judi. Temanku itu bukan seorang kaya harta, tapi juga bukan seorang yang berkekurangan menurutku, karena tetap saja masih ada orang yang jauh lebih berkekurangan dibanding dia. Empat orang anaknya bersekolah di sekolah swasta yang lumayan bergengsi di kota kami dulu. Tapi temanku itu tetap saja merasa 'miskin'. Selalu mengeluh,"Aku ga punya uang, penghasilan papanya anak-anak cuma berapa. Ga cukup untuk ini dan itu." Hampir setiap hari aku mendengar keluhannya, dan aku cuma tersenyum mendengarnya. Pernah aku menjawab,"Banyak yang jauh berkekurangan dibanding kamu". Dan itu mengundang airmatanya turun. Perumahan tempat kami tinggal memang terkenal 'langganan banjir', jadi pemilik rumah di sana berlomba-lomba menaikkan rumah posisi rumah lebih tinggi dari jalan, dan temanku berkeinginan meninggikan posisi rumahnya yang juga termasuk 'langganan ba...

...Filosofi Tembok dari Seorang di Sisi Hidup...

Sisi Hidup pernah berbincang dalam tulisan dengan gw. Berbicara tentang tembok. Gw begitu terpana dengan filosofi temboknya. Begitu baiknya tembok. 'Tembok tetap diam saat orang bersandar padanya. Dia pasrah akan takdirnya. Apapun yang dilakukan orang atau siapapun, tembok hanya diam. Tak bergerak, tak menolak. Cuma diam. Tembok ada untuk bersandar. Gw mau jadi tembok' Itu yang diucapnya Gw ga habis pikir tentang fiosofi tembok yang bener-bener bisa pasrah diam saat orang berbuat apapun padanya. karena gw adalah orang yg bergerak terus. Tapi sungguh, takjub gw akan pemikiran tembok yang bener-bener berbeda ama pemikiran gw yang selalu bergerak. Tembok yang diam saat siapapun berbuat apapun padanya bener-bener menggelitik gw. Gw sempet protes, karena menurut gw, masa cuma untuk bersandar ajah?? Masa ga berbuat apa-apa?? Dan jawabannya mengejutkan gw... 'Gw memang ga pengen apa-apa lagi. Gw cuma mau diam' Gw terpana, takjub... Gw tau siapa yang bicara tentang tembok. Ora...

error bercerita tentang "SIM dan Aku"

Oktober 2007 pertama kali aku mengurus pembuatan SIM. Sebelumnya pergi kemanapun tanpa SIM. Almarhum suami tanpa alasan apapun tidak memberi ijin membuat SIM untukku, tapi dia selalu menyuruhku pergi ke sana dan ke sini lewat jalur jalan raya yang jelas-jellas harus memiliki SIM. Sesudah suami meninggal, aku langsung mengurus pembuatan SIM lewat calo. Cukup dengan foto copy kTP dan uang yang disepakati. Tidak ada test ini dan itu. Hanya foto saja yang tidak bisa diwakikan. Ya iyalah, masa foto SIM-ku itu foto wajah bapak berkumis! Hanya sebentar prosesnya, dan tralalalala, SIM sudah di tangan. Kemanapun pergi aku selalu membawa SIM di dompet, tapi tidak pernah tahu sampai  kapan masa berlakunya. Bulan April 2013 kemarin aku baru tahu ternyata masa berlakunya sudah habis. SIM-ku kadaluwarsa! Haduh, kalau SIM ini makanan, pasti sudah berbau, dan aku keracunan! Untung sekali SIM bukan makanan.   Lalu aku putus kan  membuat SIM baru, b ukan perpanjangan,  karena S...