Skip to main content

error tentang,"Memilih untuk tidak memilih"

Ngka, Esa, Pink, tiga nyawa kecilku tercinta amat berkeinginan mempunyai sebuah rumah untuk kami tinggal. Setelah papa mereka meninggal, kami tinggal bersama orangtuaku, eyang putri dan eyang kakung, mereka menyebut begitu. Aku juga amat ingin memberikan tempat tinggal untuk tiga nyawa kecilku. Aku berusaha keras untuk mengumpulkan sedikit demi sedikit uang agar bisa terkumpul untuk menghadirkan sebuah rumah kecil nyaman bagi Ngka, Esa, Pink.

Aku bekerja di sebuah perusahaan swasta, tapi juga bekerja sampingan sebagai apa saja selama itu halal. Aku punya keyakinan bahwa memiliki rumah adalah sebuah kepastian. Pasti bisa memilikinya. Jika pun aku tak bisa membelikan untuk Ngka, Esa, Pink, pasti satu saat mereka bisa memilikinya dengan usaha mereka sendiri. Tapi saat ini aku harus berusaha, berjuang untuk mereka.


Uang di tangan sudah mencukupi untuk membeli sebuah rumah mungil. Rumah yang diimpikan sudah ada di depan mata! Ngka, Esa, Pink, amat gembira. Mereka amat bahagia. Rencana-rencana untuk menempati rumah itu nanti jika sudah terbeli disusun sudah. Benar-benar indah rasanya. Bahagia juga membungkah di hatiku saat itu. Sungguh membahagiakan.


Saat itu Bapakku mengidap kanker, dan sudah dioperasi. Tapi ternyata Bapak harus menjalani kemoterapi. Biayanya amat tinggi untuk ukuran kantongku. Tapi ini untuk Bapak, dan ini berarti nyawa. Rumah bisa dibeli kapanpun juga, jika memang diijinkan oleh GUSTI ALLAH. Dan keputusan kuambil cepat. Rumah impian kutinggalkan. Yang membuatku tersenyum, Ngka, Esa, Pink, menyetujui keputusanku. Dan akhirnya Bapak bisa menjalani kemoterapi sampai selesai dengan uang yang sedianya untuk membeli rumah.


Aku tidak tahu apakah ini sebuah usaha terbaik yang kulakukan dalam hidup atau bukan, tapi yang pasti aku merasa lega sudah mengambil keputusan memilih untuk tidak memilih. Aku memilih untuk melihat hanya satu pilihan, kemoterapi untuk Bapak. Dan aku merasa bahagia karena ternyata Ngka, Esa, Pink, adalah anak-anak yang baik, bukan orang yang egois, bisa menyikapi permasalahan dengan baik.



Salam senyum penuh cinta,
error






   

Comments

  1. anak2nya pengertian yah mbak..
    Semoga rumah munggilnya segera terbeli ya mbak. :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Amin...
      Iya, aku bersyukur banget punya anak-anak yang pengertian.

      Makasih doanya...
      :)

      Delete
  2. Terima Kasih Partisipasinya, TERDAFTAR!!

    ReplyDelete
  3. Tuhan akan gantikan suatu hari nanti dengan rejeki Nya ....

    ReplyDelete
  4. Saya jg pernah di posisi itu. Kesehatan orang tua yg utama.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya, mbak. Itu jauh lebih penting dibanding cuma benda. Berarti kita sama dalam menyikapi keadaan, mbak :)

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Prediksi Jitu, Nomor Jitu, Akibatnya juga Jitu

Sebenarnya ini sebuah cerita dari pengalaman seorang teman beberapa tahun yang lalu. Judi, ya mengenai judi. Temanku itu bukan seorang kaya harta, tapi juga bukan seorang yang berkekurangan menurutku, karena tetap saja masih ada orang yang jauh lebih berkekurangan dibanding dia. Empat orang anaknya bersekolah di sekolah swasta yang lumayan bergengsi di kota kami dulu. Tapi temanku itu tetap saja merasa 'miskin'. Selalu mengeluh,"Aku ga punya uang, penghasilan papanya anak-anak cuma berapa. Ga cukup untuk ini dan itu." Hampir setiap hari aku mendengar keluhannya, dan aku cuma tersenyum mendengarnya. Pernah aku menjawab,"Banyak yang jauh berkekurangan dibanding kamu". Dan itu mengundang airmatanya turun. Perumahan tempat kami tinggal memang terkenal 'langganan banjir', jadi pemilik rumah di sana berlomba-lomba menaikkan rumah posisi rumah lebih tinggi dari jalan, dan temanku berkeinginan meninggikan posisi rumahnya yang juga termasuk 'langganan ba...

...Filosofi Tembok dari Seorang di Sisi Hidup...

Sisi Hidup pernah berbincang dalam tulisan dengan gw. Berbicara tentang tembok. Gw begitu terpana dengan filosofi temboknya. Begitu baiknya tembok. 'Tembok tetap diam saat orang bersandar padanya. Dia pasrah akan takdirnya. Apapun yang dilakukan orang atau siapapun, tembok hanya diam. Tak bergerak, tak menolak. Cuma diam. Tembok ada untuk bersandar. Gw mau jadi tembok' Itu yang diucapnya Gw ga habis pikir tentang fiosofi tembok yang bener-bener bisa pasrah diam saat orang berbuat apapun padanya. karena gw adalah orang yg bergerak terus. Tapi sungguh, takjub gw akan pemikiran tembok yang bener-bener berbeda ama pemikiran gw yang selalu bergerak. Tembok yang diam saat siapapun berbuat apapun padanya bener-bener menggelitik gw. Gw sempet protes, karena menurut gw, masa cuma untuk bersandar ajah?? Masa ga berbuat apa-apa?? Dan jawabannya mengejutkan gw... 'Gw memang ga pengen apa-apa lagi. Gw cuma mau diam' Gw terpana, takjub... Gw tau siapa yang bicara tentang tembok. Ora...

error bercerita tentang "SIM dan Aku"

Oktober 2007 pertama kali aku mengurus pembuatan SIM. Sebelumnya pergi kemanapun tanpa SIM. Almarhum suami tanpa alasan apapun tidak memberi ijin membuat SIM untukku, tapi dia selalu menyuruhku pergi ke sana dan ke sini lewat jalur jalan raya yang jelas-jellas harus memiliki SIM. Sesudah suami meninggal, aku langsung mengurus pembuatan SIM lewat calo. Cukup dengan foto copy kTP dan uang yang disepakati. Tidak ada test ini dan itu. Hanya foto saja yang tidak bisa diwakikan. Ya iyalah, masa foto SIM-ku itu foto wajah bapak berkumis! Hanya sebentar prosesnya, dan tralalalala, SIM sudah di tangan. Kemanapun pergi aku selalu membawa SIM di dompet, tapi tidak pernah tahu sampai  kapan masa berlakunya. Bulan April 2013 kemarin aku baru tahu ternyata masa berlakunya sudah habis. SIM-ku kadaluwarsa! Haduh, kalau SIM ini makanan, pasti sudah berbau, dan aku keracunan! Untung sekali SIM bukan makanan.   Lalu aku putus kan  membuat SIM baru, b ukan perpanjangan,  karena S...